"Selamat pagi, Bu. Suaminya disuntik dulu ya."
Sakha menoleh ke pintu, menghela napas. Dan terjadi lagi.
Dia menatap suster yang mendorong troli tersenyum ke Binar, kemudian juga ke dirinya. Mungkin sudah SOP menyapa pasien harus begitu. Tidak cukup hanya senyum dan selamat pagi-siang-malam.
Atau mungkin pasien dan penunggu di kamar ini dianggap punya aura pasangan suami-istri. Suster yang masih muda ini kebanyakan menonton drama sepertinya.
Dari kemarin Binar juga tidak berniat meluruskan, hanya diam dan membalas senyum sang suster.
Maka Sakha yang melakukannya. "Tapi kami bukan suami-istri lho, Suster." Ekor matanya melirik Binar yang duduk bersedekap, tampak tenang di sofa. Seperti menunggu Sakha akan mengoreksi sejauh mana.
"Iya, Pak. Saya tahu."
"Maafin ya, Sus. Dia kaku orangnya. Nggak bisa dibercandain dikit."
Fitnah dunia macam apa ini?
Sakha meluruskan lagi. "Saya sama dia temenan dari kecil, Sus. Emang mungkin kelihatan deket tapi arahnya nggak ke sana."
"Oh, belum. Ya semoga lancar ya, Pak. Resepsinya mau sekalian di Bali?"
Sakha melongo.
"Saya ada rekomendasi beberapa tempat bagus. Yang banyak orang belum terlalu tahu."
"Nggak, Sus. Rencana di kampung halaman kami." Binar menyudahi koreksi Sakha yang sia-sia.
Suster tersebut tersenyum, selesai menyuntik dan berlalu.
Sakha menyipit ke arah Binar. Melayangkan protes yang tidak berani disuarakan karena sekarang Binar mode melawan. Tidak ada yang tahu kalimat mana yang akan Binar lempar padanya.
Sebaiknya Sakha antisipasi dengan tidak memancing candaan tepi jurang yang biasanya mudah lolos begitu saja tanpa beban. Balasannya lebih pedih ternyata.
"Kamu lagi mikir apa?"
Sakha tersadar. "Hm? Enggak lagi mikir apa-apa."
"Aku sih bebas mau pakai adat apa."
Kan. Apa Sakha bilang.
"Minta maaf ya, Bi, kalau aku banyak salah. Aku minta maaf pokoknya."
Binar tergelak melihat kekalahan Sakha. Kemudian turun ke lobi mengambil baju ganti yang diantarkan temannya.
***
Sakha pulang setelah tiga hari dua malam menginap di rumah sakit.
Binar yang siaga menemani bahkan yang mengurus administrasi. Dia jadi tahu isi dompet Sakha meski tidak berminat mengabsen semuanya, hanya mengambil salah satu kartu debit. Lelaki itu yang menyerahkan sendiri dompet padanya. Melarang Binar mengeluarkan uang pribadi sekalipun bisa diganti nanti.
Dan Binar tersenyum melihat foto Tante Retno ada di salah satu slot penyimpanan.
Sakha menerima kembali dompetnya. Mereka sedang menunggu jemputan sopir Pak Bagus di kursi lobi.
Selama tiga hari ini Sakha jadi banyak mengenal sisi lain Binar. Yang kalau susah tidur punya jurus menggerakkan telunjuk di depan mata sampai pusing sendiri. Yang habis mandi tidak lekas mengeringkan rambut. Yang makan ayam ternyata tidak bisa bersih, tersisa banyak daging di tulang.
Lalu mereka sempat berdebat masalah per-ayam-an. Gara-gara Binar sering memesan bagian dada tanpa tulang.
"Apa enaknya daging tebel gitu, Bi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Wins All [End]
RomanceHe fell first, he fell harder. Orang-orang bilang namanya seterang karirnya. Orang-orang mungkin salah. Hidup Binar kembali ke titik ini lagi. Cahayanya redup. Karirnya kandas, mimpinya selesai. Sampai kemudian seseorang datang. Dibanding anugerah y...