Sakha tidak bisa terus mengandalkan Dito. Dia ingin datang sendiri. Merasa cukup kuat dan sedikit punya muka untuk bertemu Naira, untuk melihat Mama.Dari yang dikatakan Dito, Naira mengajukan resign. Mama sebaliknya. Tampak tegar menjalani hidup seperti biasanya.
Sakha tetap mengetuk meski dia punya kunci duplikat rumah, dan dia membawanya. Tapi belum tentu pemilik rumah mengizinkannya masuk. Maka dia pilih mengetuk.
Wajah pucat Mama yang dia temui di balik pintu. Tersenyum singkat dan membiarkan Sakha masuk. Tidak muncul pertanyaan apa-apa dari Mama.
Sekarang pukul sembilan malam.
Rumah yang tidak dia sambangi selama seminggu menampakkan hal yang berbeda. Mama yang bersedih pasti ikut mengurung diri di kamar. Pun sekarang, setelah membukakan pintu untuknya, Mama menghilang ke kamar.
Sakha melepas jaketnya. Menyingsingkan lengan kemeja panjangnya. Mengurus tumpukan piring kotor, mencucinya, mengelap beberapa sudut kabinet. Meniru yang dilakukan Mama selama ini. Mama yang begitu mencintai dapurnya. Mama yang tidak membiarkan debu menempel lama-lama.
Berikutnya kulkas. Sakha mengelap sisi kulkas. Membuang makanan yang tidak layak makan. Mengabsen dan mengingat apa saja yang perlu dia bawa ketika besok ke sini lagi.
Masih terlalu sore untuk pulang dan mengasingkan diri di balkon apartemen, Sakha mengambil sapu serta pengki. Sembari menyapu, lanjut mengepel, Sakha teringat salah satu momen di rumah ini.
Dia tersenyum sepanjang memegang gagang pel. Dulu orang-orang di rumah ini heran melihat Mama yang selalu rajin. Mengerjakan pekerjaan rumah sendirian dan sama sekali tidak terlihat lelah. Papa bahkan berseloroh mungkin Mama akan berhenti sibuk ketika kiamat.
Senyum Sakha lenyap.
Dan dia-lah yang menyebabkan kiamat kecil terjadi di keluarga ini. Mama sungguhan berhenti sibuk.
Ketika terdengar langkah di tangga, Sakha refleks memperingatkan. "Awas hati-hati. Lantainya masih basah, Nai."
Tidak ada sahutan. Langkah itu sempat terhenti sejenak sebelum kembali terdengar. Sakha berbalik. Menemukan Naira yang membuka kabinet atas. Mencari sesuatu.
"Kamu udah makan? Mas pesenin nasi goreng kambing kesukaan kamu ya. Tunggu."
Naira membanting pintu kabinet. Tanpa bicara sepatah kata, meniti anak tangga, menghilang lagi ke kamarnya.
Sakha tetap memesan. Membereskan pekerjaan di lantai satu dan membuang plastik sampah ke penampungan sebelah rumah. Ketika nasi goreng datang, Sakha berniat memanggil Naira. Lalu setelah ini dia akan pulang.
Mengetuk pintu kamar Naira dua kali. Tidak direspons, dia coba memegang handle. Ternyata tidak dikunci.
"Mas masuk, Nai," katanya pelan.
Pemandangan menyakitkan menabrak netranya. Sama ketika menemui Naira yang patah hati saat Papa meninggal. Sakha meninggalkan pintu, masuk lebih dalam. Berjongkok di sebelah Naira yang duduk menyandar di tepi kasur.
Rasa bersalah masih terus tumbuh di benak Sakha.
Rambut panjang yang kusut. Mata sayu dengan lingkaran hitam di bawah mata.
Punggung jari Sakha berniat menyeka bekas air mata di pipi itu. Tapi Naira menepisnya kasar dan bangkit. Mengambil sesuatu dari dalam laci nakas, melewati Sakha dan mengoyak gaun putih yang ternyata masih tergantung di belakang pintu dengan cutter di tangannya.
Sakha menyaksikan tanpa berniat mengecah. Dalam sekejap gaun cantik itu compang-camping, robek di banyak tempat. Payet-payetnya berhamburan di lantai. Tapi Naira belum berhenti, belum puas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Wins All [End]
RomanceHe fell first, he fell harder. Orang-orang bilang namanya seterang karirnya. Orang-orang mungkin salah. Hidup Binar kembali ke titik ini lagi. Cahayanya redup. Karirnya kandas, mimpinya selesai. Sampai kemudian seseorang datang. Dibanding anugerah y...