Ida hari ini libur. Urusan membuat sarapan diserahkan ke Arum. Binar membiarkan selagi dapurnya tidak dibikin meleduk.Dia menunggu kreasi Arum tanpa ekspektasi apa-apa.
"Nasi gorengnya nggak enak."
Binar mendekat untuk menyicip. Setelah mencecap, rasanya memang tidak tertolong. "Kamu kasih tambahan apa tadi?"
"Kemiri. Harusnya sih enak kayak bikinan Ida. Kok aku yang bikin nggak enak."
"Beda tangan beda rasa. Tanganmu banyak dosa."
"Mulai ngelawak nih kayak Mas Sakha."
"Pagi-pagi nggak usah bikin mood jelek."
Arum berlalu dari dapur. Binar membereskan sisa keributan. Mencuci cobek dan membersihkan percikan minyak di sekitar kompor.
"Mbak lagi pengin sarapan apa?"
"Apa aja asal bukan buatanmu."
"Oke."
Arum menghilang lagi. Tak lama muncul membawakan kardigan Binar. Memutar kursi roda Binar dan membawanya ke ruang depan.
"Tunggu, kita mau sarapan di luar?"
"Hm. Pakai buruan."
Binar memakai kardigan untuk melapisi baju tidurnya. "Mana ada taksi jam segini?"
Arum membuka pintu. "Nggak perlu naik taksi. Merem juga sampai."
"Jangan bilang ngajakin Sakha lagi."
Setelah menunggu Binar keluar, Arum segera mengunci pintu. Takut yang dia ajak berubah pikiran dan kabur masuk rumah. Akan sulit membujuknya.
Arum nyengir ringan. "Nggak ngajak kok. Kan sarapan di rumahnya dia."
"Sini kuncinya!"
"Habis sarapan aku kasih."
"Arum! Sini nggak?!"
"Kapan hari Tante Retno pernah nawarin makan ke rumahnya kok. Aku iyain. Sekarang waktu yang tepat." Arum melangkah turun ke halaman. Mengayunkan kedua tangan di udara. Menghidu aroma yang muncul. "Tuh, kecium nggak? Harum soto lamongan, tahu isi sama mendoan."
Binar masih bersikeras bertahan di teras. Arum menggoyangkan kunci di jarinya. "Nggak mau ikut nggak apa-apa. Tapi Mbak tunggu aku selesai sarapan baru bisa masuk."
Bibir Binar bergerak pelan. Mengumpati sepupunya yang sudah berlarian ke rumah depan dengan riang.
Dengan berat hati, Binar akhirnya menyusul. Tante Retno menyambut Arum, lalu senyumnya bertambah lebar ketika melihat dirinya ikut datang.
"Wah, Tante seneng kalau ada temen makan. Yuk, masuk. Udah hampir siap."
Binar masuk belakangan. Mengedarkan pandangan ke seisi rumah sebelum belok kiri ke arah dapur. Rumah tampak sepi. Mungkin badut di rumah ini belum bangun.
"Mas Sakha belum bangun, Tan?" Arum yang bertanya. Ikut bantu menuang teh ke gelas-gelas. Binar mendengarnya jelas dari ruang tamu.
"Pergi sama Umar barusan."
Binar menoleh ke pintu yang masih terbuka. Baru sadar kalau mobilnya memang tidak ada.
"Pergi ke mana?"
"Pamitnya nggak bilang mau ke mana. Cuma sama Umar gitu."
"Bakal lama, Tan?"
"Kita bisa makan duluan, Rum."
Arum bersorak pelan. Binar yang malu melihat tingkah anak itu.
"Sakha biasa makan sendirian. Dia nggak masalah ditinggal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Wins All [End]
RomanceHe fell first, he fell harder. Orang-orang bilang namanya seterang karirnya. Orang-orang mungkin salah. Hidup Binar kembali ke titik ini lagi. Cahayanya redup. Karirnya kandas, mimpinya selesai. Sampai kemudian seseorang datang. Dibanding anugerah y...