Sakha mengerjap beberapa kali sebelum matanya bertemu jam dinding, yang samar kemudian perlahan menjadi jelas, menunjukkan pukul lima. Pening luar biasa menyergap ketika dia coba mengangkat kepala dari sofa.
Menunggu peningnya berkurang, Sakha mengamati dinding dan langit-langit. Ini jelas bukan rumah Ibu. Dan dia mengenali ini di mana.
Rumah Binar.
Dia memejamkan mata. Mengais ingatan yang bisa dia temukan. Semoga bukan hal yang memalukan. Dia lama tidak mabuk. Dari pengalaman dulu-dulu, pasti ada saja sesuatu yang tidak semestinya keluar dari mulutnya.
Tanpa menunggu kesadaran yang sulit penuh, Sakha memaksakan diri bangun sambil mengerang lirih. Kemudian tersaruk menuju pintu utama dengan pikiran yang masih linglung.
Sakha terduduk di gazebo sebelum mencapai pintu rumahnya sendiri. Duduk merunduk, menangkup wajah dengan kedua telapak tangan. Pagi masih begitu tenang dan dingin. Lampu-lampu belum dimatikan. Tapi tak lama terdengar pintu dibuka dan suara langkah yang menghampirinya.
"Habis dari mana?" Suara lembut Ibu bertanya lirih. "Kamu nggak pulang, tidur di mana?"
"Rumah Umar. Ketiduran di sana." Masih menyembunyikan wajah di antara telapak tangan.
"Lain kali Ibu marahin Umar. Kali ini Ibu biarkan." Tangan Ibu mengusap kepala Sakha. "Seenggaknya dia antar kamu pulang. Meski salah pintu."
Sakha terperanjat. Menegapkan duduknya. Tergagap. "I-ibu ... lihat?"
"Lihat kamu keluar dari rumah Binar barusan? Ibu nggak lihat."
"Y-yang semalam?"
"Ibu tungguin sampai Umar keluar sendirian."
Sakha mengacak rambutnya sendiri. Tidak muncul pembelaan apa pun. Ibu juga tidak mencercanya. Dia pikir akan kena jewer karena berani mabuk. Ketahuan pula. Ditambah tidur di rumah tetangga. Kalau kepercayaan Ibu tidak besar, pasti dirinya sudah dituduh macam-macam.
"Kemarin saat Naira nggak di sini, Ibu enteng bercandain kamu sama Binar. Ibu tahu sikap Ibu salah. Nggak semestinya Ibu bikin lelucon tentang kalian, apalagi sampai punya harapan lebih. Selain itu, mungkin malah menyakiti hati kamu."
Masih terlalu pagi dan terlalu teler untuk memahami maksud Ibu. "Aku nggak merasa sakit hati."
"Sulit kan berada di dekat Binar? Terlepas kamu senang melihatnya setiap hari. Kesenangan itu hanya bertahan sebentar sampai kamu menyadari kalau kalian nggak bisa bersama." Ibu menghela napas. "Kamu nggak mungkin bisa menyakiti hati Naira."
"Naira perempuan baik. Sebaik seperti yang Ibu dengar di cerita-ceritamu." Ibu menggenggam tangan putranya. "Nggak ada alasan bagi Ibu untuk nggak merestui kalian."
"Apa ini artinya Ibu bakal berhenti bercandain aku sama Binar?" kekehnya.
Ibu mengangguk. "Maafin Ibu."
"Aku udah tanya ke Naira kemarin. Dia bilang nggak keberatan tinggal di sini. Kapan pun aku mutusin pindah, dia akan ikut."
"Sebesar itu cintanya ke kamu, Ka?"
Pertanyaan yang membuat Sakha tergugu, alih-alih mengiakan. Entah baginya mana yang lebih baik. Dicintai sebesar Naira mencintainya, atau terus mencintai perempuan lain yang tidak bisa dimilikinya.
Naira cukup baginya. Bersama dengan Naira, dia juga bisa bahagia. Nah. Sudah seperti jargon partai saja.
Tapi yang bikin capek, Binar masih berkeliaran di pikirannya. Tidak mau pergi.
"Kamu nggak serius masih suka Binar kan, Ka?" Ibu sepertinya juga ragu. "Nggak mungkin perasaan kanak-kanak itu masih kamu simpan."
Sakha tidak menjawab. Menghindari tatapan Ibu dan mengulang jargon partai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Wins All [End]
RomanceHe fell first, he fell harder. Orang-orang bilang namanya seterang karirnya. Orang-orang mungkin salah. Hidup Binar kembali ke titik ini lagi. Cahayanya redup. Karirnya kandas, mimpinya selesai. Sampai kemudian seseorang datang. Dibanding anugerah y...