Konfeti yang berhamburan di langit-langit arena berganti dengan langit-langit putih yang bisu. Lampu blitz kamera berganti dengan lampu membosankan yang menjadi temannya selama seminggu terakhir. Sorak-sorai kemenangan berganti dengan sapaan perawat yang masuk, menyuntikkan ini-itu ke selang infus, membuatnya mengernyit menahan perih. Atau visit dokter dan segala kalimat motivasi yang gagal menghibur.Kamar rawat inapnya dipenuhi buket bunga dan parsel buah. Sekuriti rumah sakit yang hilir-mudik membawanya masuk. Binar diam tak bereaksi banyak. Tahu-tahu saat dia membuka mata, benda-benda itu semakin menggunung di sudut ruangan.
Binar menolak menemui siapa pun.
Untungnya, semua orang mengerti. Semua orang mau memahami kenapa dia menolak dijenguk. Dia butuh waktu untuk menerima. Meski tidak yakin sampai kapan.
"Kamu mau buka salah satunya, Bi? Tante lihat ada beberapa surat dari penggemar kamu."
Tante Hanum masih bersamanya dari seminggu lalu. Bergantian dengan suami dan anaknya untuk menemaninya. Binar belum mengatakan apa pun, sekadar terima kasih karena dia tidak sendirian di ruangan ini selama berhari-hari.
Dari jendela ruangan, dia terus menyaksikan hari-hari berganti. Melupakan sekarang tanggal berapa, hari apa. Membiarkan ponselnya tergeletak bisu di atas meja. Dia menutup mulut bukan hanya untuk urusan makan saja. Jangankan berteriak, melempar benda yang bisa dia raih, dia hanya menangis tanpa suara. Itu pun kadang membuat tantenya ikut tersedu-sedu.
Dengan kondisinya sekarang, tidak hanya karirnya sebagai atlet voli yang tamat, bahkan mimpi-mimpinya yang lain.
Tiga minggu kemudian, dia diperbolehkan pulang. Tantenya yang mengurus semuanya. Entah itu obat, hasil pemeriksaan kakinya, termasuk mencarikan rumah sakit yang dekat dari rumah. Binar akan menjalani rangkaian terapi agar kakinya kembali berfungsi. Meski hanya duapuluh persen peluang untuk sembuh.
Dia hanya singgah sebentar di apartemen tipe studio yang selama ini dia tempati, mengambil beberapa barang dan ikut pulang dengan tantenya di hari yang sama. Pulang ke rumah yang tenang di kaki bukit. Dia akan memulai hidup dengan sekadar hidup di sana.
Liga musim ini telah selesai. Binar tidak memperpanjang kontrak kerjasama dengan klub yang kemarin dia antarkan menjadi pemenang. Bukan tidak mau, tapi tidak bisa.
Ini hanya kemalangan yang lain. Sebelumnya dia telah kehilangan ayah dan ibu saat usianya menginjak duapuluh. Ketika jalan menuju mimpinya sudah terlihat, sudah dekat. Seperti mengulang, dia kembali ke titik terendah. Bedanya, sekarang dia tidak bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan orang lain.
Tantenya mengubah beberapa sudut rumah agar mudah dan aman baginya. Semua benda yang sekiranya Binar butuhkan dipindah ke lantai satu, termasuk kamar yang dulu dia tempati di lantai dua.
"Tante sudah carikan orang buat bantu kamu bersih-bersih rumah. Karena kamu lebih nyaman sendiri, dia nggak akan nginap. Datang seminggu empat kali. Atau berapa kali nanti, kamu bisa ganti semau kamu."
Binar hanya mengangguk. Masih belum mau banyak bicara.
"Tadinya tante harap kamu mau tidur di rumah tante beberapa hari dulu. Lagian Arum jadwal kuliahnya mulai padat, rumah nggak selalu berisik seharian. Tapi kamu sepertinya kangen berat dengan rumah ini."
"Tante."
"Hmm?"
Tapi Binar mendadak bingung bilang apa. Berakhir bungkam lagi.
Tantenya tersenyum penuh pengertian. "Sama-sama. Kamu nggak merepotkan siapa-siapa. Kami sedih dengan apa yang menimpa kamu, tapi kamu lebih sedih dari siapa pun. Terlepas yang sudah terjadi, kami senang bisa melihat kamu lebih dekat, lebih sering. Seperti Arum, kamu sama berharganya buat kami, Bi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Wins All [End]
Roman d'amourHe fell first, he fell harder. Orang-orang bilang namanya seterang karirnya. Orang-orang mungkin salah. Hidup Binar kembali ke titik ini lagi. Cahayanya redup. Karirnya kandas, mimpinya selesai. Sampai kemudian seseorang datang. Dibanding anugerah y...