19. Bagaimana rasanya jika dicintai Binar?

1.5K 317 31
                                    

Menjaga jarak? Omong kosong.

Sakha membuka mata dan pertama kali yang melintas di pikirannya hanya Binar. Setelah cuci muka dan sikat gigi, dia melesat ke rumah depan. Masih terlalu pagi untuk jadwal berjemurnya Binar.

Retno sampai heran karena barusan mendengar langkah kaki bungsunya, tapi saat berbalik, tidak ada siapa-siapa. Saat melongok dari jendela dapur, hanya bisa maklum melihat Sakha yang berlari ke rumah Binar sepagi ini.

Sakha lewat halaman samping. Di antara jemuran Ida. Menyibak salah satu jemuran dan menemukan pemandangan yang indah.

Binar sedang memegang selang air, menyirami bunga matahari yang sudah tumbuh.

Beberapa detik Sakha masih diam memperhatikan lamat-lamat. Melirik pot lain yang ada di halaman belakang itu.

"Tanaman lain nggak disiram? Nanti mereka iri lho."

Tangan Binar terhenti di udara, urung mematikan keran. Dia menatap air yang mengalir di selang, lalu menekan dengan ibu jari, dalam sekejap mengarahkan selang ke arah Sakha.

Sakha yang tidak siap dengan serangan dadakan itu buru-buru berbalik. Tidak menghindar. Membiarkan punggungnya basah dan dingin.

"Bi, tunggu, gimana kalau ambil sabun dulu? Atau shampo? Handuk deh minimal."

Binar menaikkan selang ke muka Sakha agar berhenti bicara. Tapi sontak berhenti saat air tidak sengaja masuk ke telinga Sakha. Sedikit khawatir melihat lelaki itu memiringkan kepala, coba mengeluarkan air dari telinga.

Saat terlihat tidak ada masalah serius. "Makanya jangan suka usil."

Sakha mendekat dengan rambut bagian depan yang basah, juga beberapa titik baju yang basah. Dan bisa-bisanya Binar berharap lelaki itu membawa kejutan kecil di saku celana lalu disembunyikan di dalam kepalan tangan. Menyuruhnya memilih tangan kanan atau kiri.

Sakha melewati kursi rodanya, menuju ke pot bunga matahari. Berjongkok di depan pot dan mengagumi tumbuhan yang masih kecil tersebut.

Ternyata berteman dengan Sakha juga bukan ide bagus. Binar berubah jadi anak-anak. Binar gampang sebal. Binar gampang berharap seperti barusan. Setelah sebelumnya dia nyaman dengan dirinya sendiri dan segelintir orang. Tidak terusik dengan lainnya.

Barusan kalau tidak buru-buru ditahan, bibirnya sudah meluncurkan pertanyaan apa wishlist yang mereka—

"Hari ini enaknya ke mana ya, Bi?"

"Di rumah." Tumben habis idenya?

Sakha duduk di samping pot, di tepian kolam sehingga menghadap ke Binar. "Nonton film?"

Otomatis dia menggeleng. Sakha hendak membujuk tapi Ida datang, membawa gunting kuku. "Potong kukunya sekarang ya, Bin? Sarapan udah mateng."

Sakha menadahkan tangan ke Ida. "Biar aku, Da."

Bertanya ke pemilik kuku yang hendak digunting. "Emang boleh, Bin?"

"Jangan dikasih."

Tanpa aba-aba Ida melempar gunting kuku ke Sakha dan pura-pura panik. "Duh, lupa lagi bersihin isi kulkas. Kamu aja, Ka."

Sakha nyengir menerima bentuk kerjasama yang di luar dugaan.

"Siniin gunting kukunya. Aku bisa sendiri."

Tadinya berniat iseng. Tapi melihat wajah Binar yang serius, Sakha mengalah dengan mudah kali ini.

Masih duduk di sana, memperhatikan Binar merapikan kuku tangan lalu setelahnya kuku kaki. Binar merundukkan tubuh secara maksimal, yang membuat anak rambut ikut jatuh.

Love Wins All [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang