26. Upaya saling melupakan, atau mengingat?

1.3K 310 48
                                    

Sakha tinggal selepas makan malam. Naira sudah naik ke kamar. Sementara dia masih minum teh dengan Mama. Bersama sepiring kuaci dan Mama yang mengupas bawang.

Rumah ini masih sama seperti pertama dia masuk ke keluarga Naira tigabelas tahun lalu. Keramik lantai ruang tamu dan dapur tetap sama. Kecuali gorden dan langit-langit yang sudah diganti. Juga pemiliknya yang pergi satu.

"Nggak capek, Ka? Habiskan tehmu terus tidur. Mama cuma ngupas sebentar karena belum ngantuk."

"Iya, aku temenin."

Mama tersenyum. Anak ini tidak pernah berubah. Selalu bersikap manis. "Naira bikin ulah nggak selama di sana?"

Selama tidak ada yang terluka, Sakha anggap perkelahian antara Naira dan Arum hanya bercandaan. "Kayaknya malah betah."

"Itu karena kangen kamu."

Sakha mendengkuskan senyum geli.

"Syukur kalau nggak ngerepotin Ibu kamu." Mama lalu melirik ke arah sofa. Sebenarnya sudah sejak tadi. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya. "Mama baru lihat kamu punya gantungan kayak gitu. Naira yang ngasih, Ka?"

Sakha menoleh ke arah yang sama. Tempat ranselnya teronggok. Gantungan kunci berbentuk bintang warna biru. "Bukan."

"Oh, kamu beli di sana. Biasanya anak itu kalau ada benda lucu bukan buat diri sendiri, tapi dikasih ke kita."

Terkekeh sambil geleng-geleng. "Dikira semua orang suka yang dia suka."

Mama berhenti mengupas. Di bawah lampu meja makan yang hangat, sorot lembutnya menatap Sakha dalam-dalam. "Mama bersyukur punya kamu. Kalau nggak, keluarga ini benar-benar pincang setelah Papa pergi. Mama makasih karena kamu jaga Naira dengan baik. Makasih karena kamu selalu kembali ke keluarga ini. Makasih sudah jadi payung buat kami, Sakha."

Seperti biasa, Sakha menjadi pihak yang menolak ikut sedih. Masalahnya Mama kerap mengatakan hal demikian. Dia sudah antisipasi sebelumnya. "Efek ngupas bawang jadi mellow. Udah, kerjain lagi besok, Ma. Aku pulang tapi Mama malah sedih."

"Oke, kita bicara yang ringan-ringan."

Pukul sebelas Sakha akhirnya pamit. Mama mengantar hingga pintu. "Mama kira kamu nginep di sini. Udahlah nginep aja ya."

"Akhir pekan aku nginep, Ma."

"Kunci mobil mana? Di kamar Naira? Bentar, Mama ambilin."

"Aku dianterin Dito, Ma."

"Udah jalan ke sini?"

Saat itulah Dito muncul dengan vespa matic-nya dan dua helm. Mama baru menutup pintu ketika mereka hilang di belokan.

Dan pertanyaan Dito setelah lama tidak bertemu, "Jadi rumor kalau Binar pulang ke kampung halaman tuh bener, Bang?"

Dito mengerti cerita antara dirinya dan Binar. Meski hanya garis besarnya. Tapi cukup untuk meledeknya setiap ada kesempatan, dan setiap tidak ada Naira.

"Emang lo tahu kabar tentang Binar?"

"Tahulah, Bang. Gue kan aktif ngikutin proliga. Nggak kayak lo."

"Semuanya? Maksud gue tentang Binar."

"Sempet beredar kok foto-fotonya di internet."

"Foto yang mana?"

"Waktu dia keluar dari rumah sakit. Termasuk kondisi dia akibat kecelakaan, yang bikin dia terpaksa ninggalin Blue Phoenix."

Dito berhenti di lampu merah. Sakha merangkul dan mencekiknya dari belakang. "Kenapa nggak ngasih tahu gue dari dulu?!"

Love Wins All [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang