"Pantas diumpetin terus, bening banget kayak embun." Setelah mengelap tangan di kaos, Umar lalu mengulurkannya. "Halo Naira, aku Umar. Teman baik Mas Sakha-mu."
Sakha sontak merinding mendengar sebutan itu keluar dari mulut Umar.
"Oh ya. Halo juga." Naira clueless karena orang ini tidak masuk ke cerita-cerita Sakha. Tapi tetap menjabat tangan Umar.
"Udah jangan lama-lama. Kena sirep kamu nanti." Sakha memutus tautan tangan mereka. Kemudian menunjuk jalan. "Lanjut, Mar."
"Ayo bareng aja. Kalian mau jalan-jalan, kan?"
"Duluan aku bilang."
"Enakan jalan rame-rame."
"Kita bukan mau karnaval. Tuh, dombamu awasi. Jangan sampai masuk ke rumah Binar lagi."
"Tapi nggak khawatir dombanya masuk ke rumah ibumu ya? Orang aneh. Gimana ceritanya kamu suka sama dia, Nai?"
Naira cuma nyengir. Salah satu anakan domba mendekat ke kakinya. Dia tidak ragu apalagi risi dan malah menggendongnya. Dia juga yang memimpin jalan, mengikuti domba dewasa lainnya.
Meninggalkan dua orang di belakang.
"Udah cocok hidup di sini tuh. Aku kira bakal jijik sama domba. Lengket gitu malahan. Apa dia jodohku?"
Sakha meraup wajah Umar.
"Bercanda. Aku mana tega nikung temen sendiri. Dia ke sini karena kamu kelamaan ya? Kamu pasti nggak cerita ke dia kalau sengaja lama karena ada Binar."
"Nggak sengaja lama. Dari awal emang pengin sebulan di rumah Ibu."
"Semua cowok sama. Terus dia udah ketemu Binar?"
"Udah."
"Reaksinya?"
"Biasa aja."
"Mana mungkin. Pasti ada api cemburu."
"Aku nggak mikir sampai sana, Mar."
"Makanya aku kasih tahu. Biar kamu ada persiapan."
"Persiapan apa?"
"Perang Dunia 3. Atau malah Perang Dingin. Binar kayaknya nggak suka ribut."
Dari belakang, Sakha selalu awas memperhatikan Naira. Takut kalau mendadak domba Umar banyak tingkah. Tapi rupanya perempuan itu senang dikelilingi para domba.
"Tunggu, yang ada api cemburu-nya siapa?"
"Pastinya bukan Binar." Lantas terbahak. "Ngarep banget Binar cemburu."
Sakha menepis kesal jari Umar yang menunjuknya.
"Eh, Binar, mau ke mana?"
Secepat kilat Sakha berbalik. Masih kalah cepat dengan Umar yang mengenali suara kursi roda lebih dulu.
"Ikut kalian."
Binar melihat Umar yang terbelalak, sedangkan Sakha tampak biasa saja. Justru Umar yang memundurkan langkah, menemaninya. Sakha tetap melangkah di depannya. Jadi Binar bisa menilai gestur lelaki itu. Juga arah tatapannya ke mana.
Wajar. Sakha sudah lama hidup dengan Naira. Bentuk perhatiannya luas, bahkan untuk hal-hal kecil yang luput dari mata.
"Mau main layangan ya?"
Binar menoleh. Umar mengajaknya bicara.
"Eh tapi nggak bawa layangan."
"Nyari angin."
"Tapi mungkin kita bakal sepet lihat pemandangan pasangan di depan."
"Bukannya mereka lucu?"
"Tergantung kamu lihatnya gimana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Wins All [End]
RomansaHe fell first, he fell harder. Orang-orang bilang namanya seterang karirnya. Orang-orang mungkin salah. Hidup Binar kembali ke titik ini lagi. Cahayanya redup. Karirnya kandas, mimpinya selesai. Sampai kemudian seseorang datang. Dibanding anugerah y...