Sudah kepalang tanggung. Ketimbang ribut di jalan dan menjambak Arum, Binar terpaksa ikut bertandang ke rumah abangnya Sakha.Meski sampai di sana entah akan beralasan macam apa. Biar Arum yang pusing memikirkannya. Binar cuma akan diam.
Mereka bertemu Ibu Lurah yang sedang menyiram bunga, yang tetap cantik meski hanya dalam balutan daster rumahan. Dengan ramah menyuruh mereka masuk tanpa ribut bertanya maksud kedatangan. Seolah sudah mengenal siapa mereka.
"Temannya Sakha? Masuk, masuk. Dia di dalam. Lagi main sama Jio. Kalian mau lewat pintu atau dari samping bisa."
Binar dan Arum memilih dari pintu samping. Tapi Arum salah fokus dengan pohon mangga yang buahnya ranum dan banyak. Binar rasanya ingin pulang sebelum Arum membuat tingkah seperti memanjat—
"Mau mangga?" Sakha tiba-tiba muncul di ambang pintu samping. Berjongkok kemudian datang anak kecil menggelayut manja di punggungnya.
"Boleh nih? Emang nggak dijual, Mas?"
"Nggak." Menyingkirkan pelan tangan mungil Jio dari leher dan menghampiri pohon mangga.
Dan kalau Binar tidak salah lihat, Sakha barusan melempar senyum singkat padanya.
Anggap Binar memang salah lihat.
"Kalau mau, aku ambilin."
"Mauuu."
Yang barusan bukan tingkah asli Arum. Binar sudah membayangkan adegan Arum memanjat pohon tinggi itu dengan terampil dan bukannya Sakha.
"Centil banget," komentarnya lirih.
"Iri ya? Nggak bisa centil ke Mas Sakha iri yaa?" Dengan nada meledek.
Binar memutar bola mata.
"Bi, tangkap!"
Tangan Binar refleks berkumpul dan menangkap satu mangga yang dilempar ke arahnya.
"Nice catch!" puji Jio. Memberi dua jempolnya ke Binar.
Binar tersenyum bingung. Tapi tetap menangkap lemparan mangga-mangga berikutnya. Sakha hanya melempar ke arah Binar. Padahal Jio dan Arum latah ikutan membentuk tangan, posisi siap menangkap. Tapi hanya menangkap angin.
"Aku dong, Mas." Arum akhirnya protes.
"Mateng banget mangganya. Nanti kalau meleset malah pecah. Udah, biar Binar aja yang jelas jago."
Jio tetap merajuk. "Om, aku jugaaa."
Sakha memetik buah lebih kecil tapi juga matang, lalu melemparnya untuk Jio tangkap. Gerakan Sakha lebih pelan, memastikan benar-benar masuk ke tangan kecil Jio.
Sederhana tapi Jio girang.
"Udah cukup, Mas. Ini udah banyak banget. Malah kayak ngerampok."
Sakha lantas turun. Jio yang tidak sabaran sudah lari mengambil pisau kecil dari dapur. Menyerahkannya ke Sakha agar mengupas satu buah. Jio juga tanpa diminta langsung mengambil tempat sampah.
Binar tidak terlalu suka anak-anak. Tapi Jio cukup menyenangkan. Apalagi mereka sama-sama suka hujan-hujanan.
Semua duduk di rumput halaman kecuali Binar. Dari kursi rodanya, dia cukup leluasa melihat mangga sedang dikupas. Binar harus akui kalau Sakha banyak bisanya. Terlihat sederhana tapi tidak semua laki-laki bisa mengupas mangga serapi Sakha.
Pujian ini tolong jangan diartikan ke mana-mana.
Arum saja sampai takjub melihat kulit irisan mangga yang tipis. "Kok bisa setipis ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Wins All [End]
RomanceHe fell first, he fell harder. Orang-orang bilang namanya seterang karirnya. Orang-orang mungkin salah. Hidup Binar kembali ke titik ini lagi. Cahayanya redup. Karirnya kandas, mimpinya selesai. Sampai kemudian seseorang datang. Dibanding anugerah y...