Hari ini Sakha mencoba tidak keluar kamar selain ke kamar mandi. Ibu pergi ke rumah Bang Deri setelah membuat sarapan untuknya.Namun, ketukan pintu tetap mengganggunya. Dia terpaksa bangkit dari kasur. Menyeret langkah malasnya.
"Sabar, Mar!" Dari gedorannya sih kayak tukang gebuk. Pasti Umar.
Pintu terkuak dan Sakha gelagapan. Binar ada di depan pintu. Membawa tumpukan piring dan mangkuk di pangkuan. Rasa-rasanya Sakha diserang dejavu lagi.
Masa sih Binar meniru tingkahnya? Tidak mungkin. Gengsinya saja mentok langit. Tapi kan adegan ini pernah dia lakoni.
Sakha menggaruk rambut. Memilih salah paham. "Ah, coba aku lihat Ibu masak apa. Aku belum sarapan soalnya."
"Bukan minta makanan. Tapi balikin."
"S-sebanyak itu?"
"Ibu kamu murah hati banget. Beberapa piring udah dari tahun lalu di rumahku."
Terus kenapa baru dibalikin sekarang? Sekarang banget nih? Sakha menunduk. Melihat penampilan diri sendiri yang kusut dan belum mandi. Kalau rambut sudah pasti acakadut. Dia menahan tangan yang berusaha merapikan rambut.
Ingat, tidak boleh tebar pesona lagi di depan Binar. Sudah cukup. Selain tidak baik untuk Binar, sangat bahaya bagi Sakha.
Semalam Sakha sulit tidur. Otaknya membuat angan-angan liar. Bagaimana kalau dia meninggalkan Naira dan memilih Binar. Bagaimana kalau dia melepas semuanya lalu menemani Binar di sini. Dan banyak andai-andai yang tampak indah, tampak sempurna.
Tiga minggu ini dia terlalu terbawa suasana. Terlalu berlebihan. Terlalu perhatian. Terlalu banyak senyum. Terlalu menganggap Binar enteng. Menganggap sikap cuek Binar cukup kuat menjadi benteng di antara mereka.
Padahal Binar juga manusia. Apalagi perempuan, dengan kodrat memiliki hati yang lembut. Sakha yang salah. Dia ingin memperbaiki, meluruskan, atau apa pun sebutannya. Sebelum dia pergi nanti.
Sakha tidak bisa langsung mengonfrontasi secara terang-terangan. Iya kalau asumsinya benar. Jangan-jangan Binar hanya balas dendam padanya. Balik berbuat iseng. Piring dan mangkuk menjadi bukti. Setelah kemarin lomba tatap mata menjadi permulaan.
Awal-awal Sakha berani menatap Binar dalam waktu yang lama dan sering. Karena dia tahu perempuan itu sama sekali tidak terpengaruh. Sekarang? Ketika bicara, Sakha hanya berani menatap sebatas dagu Binar.
Tapi gawat. Dagunya pun jadi cantik di mata Sakha. Serba salah. Tidak mungkin Sakha merem saat bicara dengan perempuan ini, kan?
Bukan Sakha tidak pernah membunuh perasaan ini. Berkali-kali perasaan ini mati di tangannya sendiri. Hanya menunggu sampai bertemu dengan pemiliknya, untuk kemudian tumbuh kembali. Berkali lipat. Mekar jauh lebih indah dari sebelumnya.
"Ka, bisa antar aku siang ini?"
Nggak. Aku sibuk. Aku bukan sopirmu. Pulang kamu. Kita teman aja bukan.
"Bisa. Ke mana?"
***
Umar duduk bingung di bangku belakang. Dia hendak berangkat ke lapangan saat tiba-tiba mobil Sakha berhenti di depan rumah lantas menculiknya.
Kalimatnya sudah benar. Dia memang diculik. Dipaksa dan diseret masuk ke mobil. Tidak diberi jawaban saat dia tanya. Domba-domba yang sudah dikeluarkan dari kandang bingung karena babunya malah pergi sendiri.
Beberapa menit akhirnya Umar paham. Dia diajak memang untuk dijadikan orang ketiga. Arum tidak ada, maka dirinya yang jadi korban. Sepertinya situasi ini sudah disadari oleh kedua belah pihak. Sakha yang sekilas terlihat tidak sesantai biasanya, dan Binar yang bibirnya sudah bisa senyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Wins All [End]
RomanceHe fell first, he fell harder. Orang-orang bilang namanya seterang karirnya. Orang-orang mungkin salah. Hidup Binar kembali ke titik ini lagi. Cahayanya redup. Karirnya kandas, mimpinya selesai. Sampai kemudian seseorang datang. Dibanding anugerah y...