Sakha mulai hilir-mudik ke rumah ini secara bebas tanpa hambatan. Binar tidak mau repot-repot menegur lagi. Ditambah semakin hari Arum semakin dekat dengan Sakha. Siang ini mereka mengerjakan foto iklan untuk tugas kuliah Arum.Dia memberi tahu apa yang mesti disiapkan Arum. Kertas putih besar, lampu belajar, reflektor, dll. Sakha juga membiarkan Arum belajar memotret ala kadarnya dulu barulah dia mengoreksi.
Binar punya kegiatan sendiri. Merajut boneka-boneka kecil yang biasa dia jadikan gantungan kunci. Tidak dijual, kalau terkumpul banyak dia minta Arum antarkan ke panti asuhan bersama hadiah lainnya. Dia melakukan ini sejak sepuluh tahun lalu. Ketika dia akhirnya sendirian di dunia ini.
Dari pintu kamar yang dibiarkan terbuka, Binar mendengar mereka berdiskusi. Tentang objek foto yang transparan atau tidak, yang akan berpengaruh ke letak kamera serta penempatan lampu dan reflektor, lalu perlu tidaknya rules of third. Hal-hal yang asing untuk Binar.
"Nanti editnya nggak usah berlebihan. Malah objeknya jadi nggak natural lagi. Foto kayak gini kamu cukup main di crop, level sama saturasi."
Arum mengiyakan. Terdengar senang. Binar mendecih. Makin akrab saja berdua. Sama sekali bukan pertanda bagus. Arum akan sering berpihak ke Sakha. Gara-gara ganteng, katanya? Ganteng dari mananya sih?
Gantengan juga Umar. (Pendapat ini akan ditentang mati-matian oleh Arum, dan mungkin Ida, lalu ibunya Sakha)
Setelah tugas Arum selesai, Sakha sempat pulang. Tapi kembali lagi pukul dua tepat. Arum sudah menyalakan TV. Binar hendak kabur ke kamar tapi Sakha tahu-tahu menarik kursi makan ke dekat kursi rodanya. Bukannya duduk di sofa yang masih luas.
Kedua kaki Sakha sengaja diluruskan. Menghalangi kalau-kalau Binar mendadak melajukan kursi roda.
"Kali ini kamu pegang mana, Bi?"
Sedikit bete melirik layar TV. "GS Caltex."
Arum mengangkat tangan. "Aku samaaa."
"Kenapa pilihan klub kita selalu beda sih?"
"Selera kita emang beda."
Sakha berubah pikiran. "Ya udah aku ikut pegang GS Caltex."
"Nggak seru kalau bertiga GS Caltex semua."
Arum yang duduk sendirian di sofa pura-pura tidak dengar, membiarkan perdebatan terjadi, karena lumayan lucu mendengarnya. Binar banyak bicara kalau ada Sakha di sini. Walau sebalnya Binar sungguhan. Lebih baik daripada cuma diam.
"Taruhan ya, Bi. Kalau IBK Altos menang, kamu mau nurutin satu permintaanku."
"Kalau kalah?"
"Kamu boleh minta satu ke aku."
"Aku nggak bakal minta."
Sakha berkacak pinggang. Merasa tertantang. Mengulurkan dua jari ke depan Binar. "Dua permintaan kalau IBK kalah."
Binar menjabat dua jari Sakha. "Deal."
Dia tersenyum sambil menatap jari yang disentuh Binar. Meski taruhan mereka timpang, tidak masalah. Sakha sudah cukup senang melihat antusias kecil yang terbit di wajah Binar.
Tidak perlu menunggu sampai set akhir. IBK Altos terus memimpin di set satu dan dua dengan performa menyerang yang baik. Arum ketiduran di set ketiga. Binar cemberut sendirian ketika GS Caltex harus kalah di kandang sendiri.
"Pemain GS yang rambut pirang, siapa namanya, Bi?"
"Kenapa? Cantik? Tubuhnya bagus?" tuduhnya. Dia senewen karena tim jagoannya kalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Wins All [End]
RomanceHe fell first, he fell harder. Orang-orang bilang namanya seterang karirnya. Orang-orang mungkin salah. Hidup Binar kembali ke titik ini lagi. Cahayanya redup. Karirnya kandas, mimpinya selesai. Sampai kemudian seseorang datang. Dibanding anugerah y...