"Bi, lantainya dingin. Pindah ke atas ya."
Binar memberi anggukan kecil. Sakha menggendongnya pindah ke kasur. Ujung jaketnya ditarik saat hendak berbalik.
Sepasang mata yang masih takut itu bertanya-tanya.
"Ambil minum, Bi. Sama nutup jendela."
Binar melepas tangannya. Membiarkan Sakha bergerak ke jendela lalu ke dapur. Lelaki itu muncul cepat dengan segelas air putih. Diulurkan ke Binar.
Setelah Binar selesai minum. "Aku harus hubungi siapa, Bi? Arum? Ida? Atau tante kamu?"
"Jangan."
"Kenapa jangan?"
"Aku udah nggak apa-apa. Jangan kasih tahu mereka."
Sakha melihat kedua tangan Binar terkepal, meremas selimut. "Kalau ibuku? Ibu bisa di sini nemenin kamu tidur."
"Orang-orang nggak perlu tahu kejadian tadi. Yang penting aku nggak apa-apa. Kayaknya nggak ada yang diambil, keburu kepergok malingnya. Jadi nggak perlu dibikin heboh."
Sakha ingin menyanggah. Tapi urung karena kondisi Binar belum terlalu tenang. Perdebatan hanya membuat situasi semakin buruk. "Ya udah, kamu maunya gimana?"
"Tolong rahasiain apa yang terjadi."
"Oke."
"Aku nggak mau orang-orang heboh."
"Ya."
"Kamu bisa pulang sekarang."
Yang ini dia tidak setuju. "Terus kamu sama siapa?"
"Aku udah nggak apa-apa."
Ketimbang mengomeli betapa keras kepalanya Binar, Sakha lebih ingin mengusap bekas air mata di pipi perempuan ini. Tapi tidak tahu caranya. Kalau pelukan tadi hasil dari gerak refleks Binar sendiri, lalu bagaimana dengan bentuk perhatian yang disengaja?
Sakha banyak berpikir. Akhirnya ragu. Dia bahkan tidak berani mengurai tangan yang terkepal itu. Yang mungkin bisa cepat tenang kalau dia coba menggenggamnya.
"Kamu minta rahasiain, aku iyain. Tapi aku tidur di sini malam ini."
Binar membuka mulut, hendak melarang, tapi Sakha sudah melangkah ke sofa di sudut kamar. Menekuri ponsel sebentar sebelum melepas sepatu dan jaket. Menyisakan kaus putih kemudian berbaring. Kedua tangannya terlipat di dada, matanya langsung terpejam.
Kamar itu lengang. Binar menenangkan diri sebisa mungkin. Ada Sakha yang menemaninya. Ada orang yang bernapas di sini selain dirinya. Dia akan aman. Dia mungkin bisa coba tidur—
"Mau sampai kapan kamu ngelihatin aku terus, Bi? Kamu harus tidur juga. Dibawa tidur biar cepet tenang."
Tidak berusaha menyangkal, toh dia memang memandangi Sakha sejak beberapa menit lalu hingga detik ini.
"Aku cuma merem, belum tidur. Kamu kalau pengin ngobrol aku dengerin."
"Tante nggak nunggu kamu pulang?"
"Aku udah kirim pesan kalau tidur di rumah Umar."
"Kenapa?"
"Kenapa?" Sakha membeo. "Kalau aku bilang tidur di rumah Binar tanpa alasan kuat, menurutmu Ibu bakal mikir gimana? Daripada pusing mikir alasan, tidur di tempat Umar lebih masuk akal."
Binar merapatkan bibir. Memutuskan tidak bicara lagi. Posisinya masih sama, bersandar di kepala ranjang, dengan tangan yang masih meremas selimut. Dan tetap memperhatikan Sakha yang sepertinya sudah tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Wins All [End]
RomanceHe fell first, he fell harder. Orang-orang bilang namanya seterang karirnya. Orang-orang mungkin salah. Hidup Binar kembali ke titik ini lagi. Cahayanya redup. Karirnya kandas, mimpinya selesai. Sampai kemudian seseorang datang. Dibanding anugerah y...