Tanpa prasangka apa-apa, Binar melaju pulang.Ida muncul dan lebih dulu menyongsongnya. Menuruni undakan teras terburu-buru, tersandung dan nyaris terjerembab ke arahnya.
"Tamunya siapa?" Binar menangkap kedua tangan Ida. "Udah lama nunggu? Kamu kok nggak telepon."
Tampak cemas. "Maafin aku, Bin. Aku tadi nyuruh dia masuk. Tapi setelah aku pikir, seharusnya langsung aku usir."
"Siapa, Da?"
"Aku nggak yakin kamu siap ketemu."
Binar mengerti siapa yang dimaksud Ida. Orang itu kini berdiri di ambang pintu. Memberi Binar senyum yang masih diingatnya.
Binar membeku. Bukan karena terpana dengan senyum itu. Dua tahun dia menantikan hari ini datang. Sekarang dia bingung memilah perasaannya, mencari-cari, apakah ada sebersit rindu di antara marah dan kecewa.
Dan lihat, siapa yang lelaki itu bawa kemari. Binar menurunkan pandangannya ke gadis kecil yang ikut menyembul di celah pintu. Memeluk salah satu kaki lelaki itu.
Kejutan macam apa ini?
Gadis kecil itu dititip ke Ida, dibujuk dan dibawa masuk ke rumah. Sementara sang Ayah bicara dengan Binar di halaman.
Binar tak habis pikir. Masih tak percaya. Orang yang pernah dia mati-matian tunggu dan cari, yang hilang ditelan bumi, sekarang muncul dengan sendirinya.
Di saat dia sudah ikhlas. Tidak mengharapkan apa-apa lagi. Dan penjelasan terlambat seperti apa yang pantas dia dengar sekarang.
"Kamu ke sini karena mau pamer kalau hidupmu bahagia, sementara aku masih di titik rendahku?" Binar menyerang langsung. Sudah bagus dia tidak menampar Adam sebagai ucapan selamat datang lagi di hidupnya.
"Aku datang untuk minta maaf."
"Kenapa baru sekarang?" Tanpa intonasi yang meninggi. "Sejak malam itu, melihatmu datang ke pertandingan terakhirku dengan perempuan lain, aku nunggu kamu."
"Aku sengaja menghilang, menutup semua akses. Semuanya, bahkan temen-temenku. Biar kamu nggak terlalu sakit."
"Tapi aku tetap sakit. Aku berharap kamu ada. Saat itu."
Adam terdengar penuh penyesalan. "Maaf, Binar."
"Kamu tahu tentang kecelakaan itu dan kondisiku setelahnya. Itu yang makin bikin kamu merasa nggak perlu datang? Karena menurutmu sia-sia. Kamu nggak mungkin bisa terima kondisiku sekalipun aku memohon."
"Bukan. Karena aku menikah minggu depannya. Dengan perempuan yang kamu lihat malam itu." Ada kegetiran dalam nada bicaranya. "Pernikahan bisnis seperti keluarga pengusaha lainnya. Dulu aku ngetawain hal ini, sampai aku harus mengalami sendiri. Saat itu hubungan kita lagi di titik jenuh dan aku terdesak dari mana-mana. Kamu tahu, mamaku nggak pernah setuju dengan kita."
Anehnya, Binar tidak merasakan sakit di dada. Tangannya tidak berkeringat dingin, tidak gemetar. Dia mendengar penuturan Adam dengan tenang. Tanpa kemarahan, atau gejolak lainnya yang membuat dada sesak.
"Aku buktiin ke kamu kalau aku emang bukan yang terbaik buat kamu. Selama kita bareng, aku sadar kamu banyak ngalah. Sabar sama mamaku, keluargaku. Kamu banyak menyesuaikan sama inginku. Dan aku jadi seenaknya sama kamu. Bukan maksud bahwa hal yang aku lakuin benar dan kamu mesti bersyukur. Aku tetap salah. Aku pengecut, Bin. Ketemu kamu saat ini, jujur aku malu banget."
Ada sisi hati Binar yang lega mendengarnya. Mungkin akhirnya hanya ini yang dia butuhkan. Pengakuan salah dari lelaki ini. Bukan lagi soal kenapa dia ditinggalkan, apakah dia pantas diperlakukan seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Wins All [End]
RomanceHe fell first, he fell harder. Orang-orang bilang namanya seterang karirnya. Orang-orang mungkin salah. Hidup Binar kembali ke titik ini lagi. Cahayanya redup. Karirnya kandas, mimpinya selesai. Sampai kemudian seseorang datang. Dibanding anugerah y...