"Siapa yang habis bikin mie, Mbak?""Aku."
"Masa? Dua bungkus yakin?"
"Yakin-yakin aja."
"Bukan tetangga yang bikin?"
Binar melotot ke arah sepupunya yang banyak komentar itu.
"Iya, iya. Percaya kok. Masukin lagi matanya. Horor ah."
Arum datang agak siangan. Dia mampir membeli makan sekalian karena Ida libur. Tapi sampai di dapur dia melihat mangkuk bekas mie di bak cuci. Melongok ke tempat sampah dan menemukan dua bungkus mie.
Gelagat kakak sepupunya juga cukup aneh hari ini. Sering melamun. Arum menjatuhkan sendok, tidak sengaja, Binar langsung terkejut dan ngomel. Lalu orangnya berlalu ke halaman. Waktunya fotosintesis.
"Ini buburnya siapa, Mbak?"
"Makan kalau doyan. Tapi jangan semua."
Arum mengambil bubur kacang hijau di mangkuk kecil. Bergabung dengan Binar di bawah sinar matahari. Menikmati bubur sambil merem-merem karena tidak tahan dengan paparan sinar. Inilah kenapa dia jarang sekali bergabung dengan hobi Binar di pagi hari.
"Kayaknya cuma Mas Sakha yang betah nemenin hobi Mbak satu ini."
Secara random nama itu disebut. Binar berdeham. "Nggak minta ditemenin. Aku lebih tenang sendiri."
"Lebih tenang sendiri hari ini, belum tentu lebih tenang selamanya. Mbak bakal butuh temen bicara sekalipun Mbak nggak suka berisik. Tapi minimal ada yang bicara. Mas Sakha memenuhi kriteria itu. Dia mau ngapain ayo-ayo aja."
"Kamu naksir dia?"
"Penginnya sih. Tapi aku fokus kuliah dulu. Nanti kalau Mbak Binar tetep nggak mau, biar aku yang kejar Mas Sakha."
"Saingan sana sama calon istrinya."
Arum tertawa menepuk dahi. "Lah iya, baru inget. Kenapa sih dia nggak single aja. Biar aku bisa naik kapalnya kalian."
"Mana kapalnya? Sini aku tenggelamin."
"Tega." Arum mendecih, mengangguk-angguk karena buburnya enak. "Tapi calon istri belum tentu jadi istri beneran."
Kesal karena waktu-waktu damainya diganggu. "Terus menurutmu aku yang bakal jadi istrinya Sakha?"
Arum menunjuk Binar dengan sendok sambil terkikik-kikik. "Omongan itu doa lho. Tapi kita lihat, bisa jadi jalur kamar sih."
"KARMA!"
"Aduh, lidahku terlalu bersemangat."
Binar menepis sebal sendok yang sedikit lagi mencolek pipinya.
***
"UMAR!"
Tadi pagi ibunya, sekarang siang anaknya. Umar agak trauma. Dia pun pura-pura tak dengar. Tetap menyandar di pohon, berkamuflase jadi tokek.
Sakha menepikan mobil, turun menghampiri pohon rindang di pinggir lapangan. "Kenapa sih? Aku ada salah? Dipanggilin nggak nyahut."
"Semalam tidur di mana? Aku kena fitnah ibumu, tahu. Tidur di rumah janda tato kupu-kupu mana?"
"Binar bukan janda. Binar nggak punya tato kupu-kupu."
"Emang kamu udah cek dia beneran nggak punya tato—OH JADI NGINEP DI RUMAH BINAR?"
Sakha tidak coba membungkam mulut Umar. Aman. Mereka ada di lapangan yang isinya cuma domba-dombanya Umar. Tidak mungkin para domba itu rumpi menyebarkan gosip ke warga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Wins All [End]
RomanceHe fell first, he fell harder. Orang-orang bilang namanya seterang karirnya. Orang-orang mungkin salah. Hidup Binar kembali ke titik ini lagi. Cahayanya redup. Karirnya kandas, mimpinya selesai. Sampai kemudian seseorang datang. Dibanding anugerah y...