Sakha berhenti lama di ambang pintu menuju dapur. Memandangi punggung Ibu yang sibuk membuat sarapan lebih pagi, tahu kalau Sakha pergi lebih awal dari kemarin. Padahal semalam Ibu pulang cukup larut. Tidurnya belum cukup.
"Udah bangun, Ka?" Ibu menoleh, tersenyum menyadari kehadiran bungsunya. "Mau mandi sekarang?"
Di balik senyumnya, kakinya ingin sekali bergerak ke sana. Mengusap kepala Sakha dengan sayang, bertanya apakah tidurnya nyenyak. Hal sederhana yang gagal dia lakukan selama hampir duapuluh tahun tanpa rasa bersalah. Apa yang dia lakukan sekarang, sebagai Ibu, mungkin tidak sepenuhnya sama lagi di mata Sakha.
Apa lagi Sakha punya sosok ibu lain, yang lebih baik dari dirinya.
"Masih terlalu pagi buat mandi, Bu." Sakha tersenyum. Masih sering tersenyum padanya. Seolah marahnya anak ini hanya terjadi di hari itu. Satu hari saja. Padahal tidak sesederhana itu.
"Ibu siapin air panas?"
"Nggak usah." Melangkah ke area dapur, Sakha menyingsingkan lengan kaus panjang.
Tapi sebelum dia menawarkan bantuan, Ibu lebih dulu menolak. "Jangan pegang apa pun. Kamu duduk aja. Atau nonton TV selagi nunggu mata beneran melek."
Sakha masih berdiri di samping Ibu yang menumbuk kentang.
"Nanti pulang malam lagi?"
"Kayaknya."
"Minta bayaran tinggi ke abangmu. Dua hari udah nyita waktu santai kamu."
Sakha tersenyum. Memperhatikan jari-jari Ibu yang makin keriput dan menyusut.
"Mamamu suka masakin apa, Ka?"
Pertanyaan yang bisa dia antisipasi. Kerap Ibu tanyakan ketika dirinya pulang. "Masakan padang sih seringnya."
"Kamu udah bisa makan pedes?"
"Mama ngurangin cabenya." Terdiam sebentar. "Tapi masakan Ibu nggak kalah enak."
Ibu tersenyum senang, kali ini menerima pujian itu.
***
"Hufttt. Nggak ada Mas Sakha nggak seru."
"Aku jadinya ngantuk."
"Mas Sakha lupa apa ya, harusnya diingetin. Jadwal nonton voli lebih penting ketimbang kerja bantuin abangnya. Duit dia udah banyak. Iya, kan? Pulang katanya liburan, malah kerja."
"Dia duluan yang bikin kita nonton voli. Eh dia yang absen."
Binar harus mendengar keluhan Arum untuk yang kesekian kali. Pokoknya nama itu selalu dibawa. Padahal tayangan Red Sparks melawan Hi-Pass baru dimulai lima menit lalu. Tapi keluhan Arum lebih banyak ketimbang poin yang dicetak kedua tim.
Menit ke sepuluh, Arum akhirnya walk out dari ruang TV. Entah ke mana. Semoga bukan minta makan ke rumah depan.
Bagus. Biar dia sendiri saja yang nonton. Lebih tenang. Tidak ada yang cerewet tanya kenapa poinnya dianulir, kenapa pemain A mainnya jelek, kenapa pemain B selalu gendong tim. Dan banyak kenapa-kenapa lainnya. Binar kali ini bisa fokus menikmati pertandingan penutup ronde empat.
"Arrggh, salah minta challenge. Harusnya touch out! Jelas-jelas bolanya kena jari! Malah ngurusin floor touch yang clear." Binar meremas gemas bantal sofa di pangkuan.
Senyap. Tidak ada yang menyahut. Binar menoleh, baru ingat kalau dia hanya sendirian.
Pertandingan selesai di set tiga. Binar mematikan TV. Mencari-cari Arum yang ternyata ngeteh cantik dengan Tante Retno. Binar menimbang, perlu bergabung atau tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Wins All [End]
RomanceHe fell first, he fell harder. Orang-orang bilang namanya seterang karirnya. Orang-orang mungkin salah. Hidup Binar kembali ke titik ini lagi. Cahayanya redup. Karirnya kandas, mimpinya selesai. Sampai kemudian seseorang datang. Dibanding anugerah y...