40. Tidak apa-apa, kita selalu bisa memulainya kapan pun

2.3K 348 131
                                    


Memasuki bulan ketiga mereka menjalani hubungan seperti ini.

Intensitas kehadiran Sakha menjadi lebih sering daripada sebelumnya. Mulai muncul di kampus Binar, menjemput tiba-tiba, bahkan pernah muncul pagi-pagi membawa bubur ayam langganan dekat rumah.

Mungkin Naira sungguhan membaik dan Sakha sedikit lebih bebas absen dari rumah.

Pertama kali Binar menyetir lagi juga menggunakan mobil lelaki itu.

"Aku lagi pengin vespa matic. Jangan langsung beli, kamu pakai aja mobilku dulu. Kalau kerja gampang ada mobil Dito."

"Kalau baret?"

"Udah banyak baretnya, Bi. Kamu tambahin juga aku nggak ngeh."

"Tapi duitku banyak."

Sakha tergelak. Mengangguk. "Percaya. Sama aku kayaknya lebih kayaan kamu. Tapi tetep pakai aja dulu mobilku."

Barang-barang milik lelaki itu mulai berceceran lagi di tempat Binar. Sepatu, baju, kaos kaki, alat mandi, bahkan uang receh kembalian dari supermarket. Termasuk mobil yang terparkir di basemen sejak minggu lalu.

Tempat ini jadi lebih memiliki aura maskulin. Binar tidak masalah. Dia juga bukan tipe yang terlalu feminin.

Kabar dua ikan? Sehat dan masih lincah. Masih sering jadi teman ngobrol Sakha kalau Binar sedang malas bicara.

Tapi ada kalanya Sakha muncul dengan suasana hati yang redup. Datang-datang langsung ke balkon dan merokok lama di sana. Binar enggan bertanya dan hanya mengamati dari balik tugas kuliah yang sedang dia kerjakan.

Ketika lelaki itu selesai merokok dan masuk, Binar segera mengalihkan mata ke layar laptop.

"Bi, masih lama nggak nugasnya?"

"Kelar besok pagi."

"Tugas apa ngepet sih kamu."

"Ngeronda." Binar melirik Sakha yang bersiap pergi lagi. Tapi ranselnya tidak dibawa. Mungkin hanya jalan ke bawah, mencari kopi.

"Kamu nitip apa, Bi?"

"Ke mana?"

"Mal sebelah."

"Nggak titip." Memindahkan laptop dari pangkuan ke meja, Binar berdiri. "Ada yang pengin aku beli."

Binar memikirkan benda apa yang mesti dia beli sepanjang jalan kaki ke mal di sebelah apartemen. Baru kemarin dia belanja bulanan.

"Aku ke lantai dua. Kamu?"

"Semua lantai."

Sakha merasa lucu dengan jawaban Binar. "Kalau masih belum tahu mau beli apa, ikut aku dulu aja."

Lelaki itu melangkah ke arena ice skating. Binar dipaksa ikut tapi pilih menunggu di luar lapangan putih tersebut. Duduk bersama seorang ibu-ibu yang menunggui anaknya bermain.

"Nungguin suaminya ya?"

"Bukan, Bu. Anak saya itu. Kebetulan dia bongsor dan saya awet muda."

Si Ibu tertawa. "Mending disusul. Takutnya suaminya digodain perempuan lain lho. Sekarang lagi banyak ani-ani cari mangsa. Alus lagi caranya."

Tadinya dia pikir si Ibu ini cuma iseng. Setelah Binar teliti betul-betul memang ada satu perempuan yang membayangi gerakan Sakha dan mendekat perlahan. Tapi berhubung ini tempat umum, Binar tidak terlalu memikirkannya.

"Ayo buruan susulin."

Binar mengabaikan hasutan Ibu di sebelahnya. Lagi-lagi pilih menunggu dan mengamati.

Love Wins All [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang