7

1.9K 144 5
                                    

Nathan yang tengah duduk disamping teman-temannya di sebuah ruang karaoke yang biasa mereka tempati untuk party itu tersenyum menatap layar ponselnya yang menampilkan postingan Nadine, dimana gambar itu tentu saja diambil oleh Nathan, menggunakan ponsel Nathan pula.

Temannya—Stijn yang hampir selalu bersama Nathan kala pria itu berada di Rotterdam sempat melirik sebelum akhirnya menyenggol.

"A new girlfriend?" Bisiknya ditengah bisingnya teman mereka yang lain yang tengah berjoget sambil menyanyi.

Ruby—kekasih Stijn melirik penasaran. "Nathan? Girlfriend? Wow, sudah begitu lama sejak yang terakhir."

Nathan dengan cepat menjauhkan ponselnya sambil berdehem santai. "Just a girl friend, not girlfriend." (Hanya teman perempuan, bukan pacar)

Ruby tergelak sambil memukul Stijn didekatnya. "Benarkah? Teman perempuan mana yang berhasil membuatmu senyum-senyum."

Nathan menaikkan bahunya namun dengan senyum tipis khasnya. "Terserah. Kalian hanya akan berfikir sesuai mau kalian."

Ruby kembali tertawa, wanita itu lalu pindah ke posisi tengah agar leluasa berbicara dengan Nathan.

"Lemme know, lemme know. How's her looks? She's a sexy one again?"

Stijn menyemburkan tawanya. "Yah, dibanding sexy, bukannya selera Nathan itu more mature one? Sexy is just some of bonus, itupun karena mereka banyak bergaul denganmu Ruby."

Nathan mendorong Ruby yang semakin maju dengan gencar menggodanya. Mendengar tanggapan Stijn, Nathan kembali menghela nafas berat 'cukup tertekan'.

"Aku tidak memiliki selera spesifik seperti itu." Ucapnya menanggapi sepasang kekasih yang memang tak pernah berhenti untuk terus mengganggunya. Meski begitu, itulah yang membuat ikatan mereka rasanya semakin dekat.

Fikirannya tiba-tiba berputar kepada Nadine.
Gadis itu dibanding lebih dewasa, Nathan yakin Nadine adalah gadis dengan kelahiran diangka 2003 atau mungkin lebih muda.

Wajahnya terlalu polos, dan baginya terlalu muda.

Ruby tersenyum menggoda melihat Nathan yang melamun demikian, ia kembali mendekat ke Nathan. "Jadi dia wanita dari mana? Qatar?"

Nathan menaikkan alisnya, "huh?"

"Yah kudengar wanita-wanita Qatar itu.."

"Interesting," lanjut Stijn yang langsung diangguki oleh Ruby.

Nathan menggeleng tak habis fikir. Meski demikian tidak salah jika mereka mengatakan hal itu. Marselino salah satu rekan timnya saja beberapa kali berdecak kagum setiap mereka memutuskan berjalan-jalan saat itu.

Seperti "juancok woi, itu cantik banget! Bodynya beuh!" Kurang lebih begitu kalau Nathan tak salah ingat.

"Jika hanya teman biarkan kami melihatnya." Tekan Ruby dengan nada tak mau kalah.

Nathan akhirnya menghela nafas berat. "Sekali lagi kutekankan, dia hanya teman."

Ruby dengan entengnya langsung menarik ponsel Nathan dan melihat gambar yang baru-baru ini diposting oleh Nadine.

"Wow Asian girl?" Ucap Ruby tak percaya.

Stijn ikut menggeleng. "Kamu benar-benar meng-Asia." Decaknya dengan bangga.

"Bukankah dia sangat berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya? Yeah i mean Gina, Roxane, and.. Marcha." Tanya Ruby

Nathan menaikkan bahunya, "tidak perlu mengaitkannya sama mereka."

Ruby mengembalikan ponsel Nathan sambil bertepuk tangan gembira, dengan cepat ia berdiri dan menarik Nathan dan Stijn untuk ikit bergabung dengan teman lainnya yang sedang menikmati euforia mereka.

"Mari bertepuk tangan untuk pilihan Nathan!"

Nathan menutup matanya sebentar, apapun yang ia katakan sepasang kekasih itu hanya akan membenarkan apa yang ada difikiran mereka. Meski demikian mendengarnya cukup berhasil membawa ujung bibir Nathan terangkat sedikit.




***

Nadine mengerjap berkali-kali dengan notif yang tak ada habisnya. Ribuan balasan untuk komentar Justin Hubner di postingan terakhirnya berhasil menarik para cegil timnas PSSI mampir diakunnya.

Theo melirik ponsel Nadine yang sedari tadi berbunyi. "Yakin lo itu ga masalah?" Tanyanya mulai resah, pasalnya beberapa komentar tak mengenakkan pun ada disana.

Nadine membisukan ponselnya dan menaruhnya kedalam tas. Matanya hanya melirik tajam kearah Theo saat ia menyampirkan tasnya dan berjalan menjauh.

Meski sudah 2 hari terlewati, Nadine masih tidak mau berbicara dengan Theo perkara kejadian kemarin.

Theo menghela nafas dan mengikuti Nadine dengan jarak konstan sejauh 1 meter dibelakang gadis itu.

"Lo ga seharusnya diemin gue, Dine. Okay, gue salah, gue minta maaf, ya?"

Nadine berhenti berjalan, begitupun Theo yang kini tetap berdiri ditempatnya. "Lo tau, Yo. Gue paling benci kalau diminta bahas soal hubungan. Dan lagi-lagi lo bahas itu."

Theo menghela nafas. "Gue ngomong gitu karena gue laki, Dine. I can feel it if any guy tertarik sama cewek, begitupun Nathan ke lo. Dan lo nanggepin dia."

Nadine terdiam sebentar. "We just friend."

Theo mengikuti Nadine dari belakang. "I know, but temen mana yang bisa berhasil bawa lo di malam hari, di negeri orang tanpa ada gue didekat lo, Dine?"

"You had a big trust issues, tapi kenapa itu ga berlaku di Nathan-Nathan itu?"

"Lo emang trauma. Gue tau, i'm fuckin know that Dine. Tapi bisa nggak lo berhenti rendahin diri lo? Lo cuma lagi ngerendah, Dine. That's here, the bright of your eyes just coming back when he come to your flat life."

Nadine menggigit bibirnya. Cukup, rasa ia ingin berteriak didepan Theo untuk berhenti. "You don't have a due to explain myself." Tegasnya sebelum mempercepat langkahnya meninggalkan area latihan itu.

Apa benar Nadine tengah merendahkan dirinya? Namun ia benar-benar tidak tertarik kepada Nathan. Sama sekali tidak. Begitupun Nathan, hanya menganggapnya kenalan. Sebagai teman, dan tidak lebih.

***

Tbc

YA TUHAN KEHABISAN IDE!!!😵‍💫😵‍💫😵‍💫😵‍💫😵‍💫😵‍💫

So, sebelum muncul kesalahpahaman Theodore ini karakter yang had platonic love ke Nadine. He feel like he has responsibilities for her. Rasa sayangnya bisa sebagai teman dan paling tinggi tuh sebagai seorang kakak bagi Nadine.

Theo tuh selalu muter otak biar Nadine bisa berani maju a.k.a moving on, dan bisa ngelupain masa lalu kelamnya.

Nathan Tjoe-A-On -Targeting LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang