15

1.3K 119 0
                                    

Nadine menghela nafas panjang, ia memeluk Noah dengan sangat erat dan meninggalkan banyak kecupan di wajah remaja itu.

"Jangan minum cola terlalu banyak."

Noah mengangguk paham.

"Jangan mandi tengah malam."

Lagi Noah hanya mengangguk.

"Jangan ketiduran dan lupa ke gereja."

"Iya kak, iya."

"Jangan main game sampai larut."

"Iya.."

"Dengerin Mamah dan Papah, jangan membantah."

"Hei, kak aku tahu semua itu ayolah.."

Nadine melengkungkan bibirnya kebawah, matanya berkaca-kaca setelah mendengar keputusan Noah untuk mengisi liburannya dengan tinggal bersama kedua orang tuanya di Bandung.

Itu berarti Nadine harus tinggal sendiri selama tiga bulan.

"Kamu tega ninggalin kakak?"

Noah mencibir. "Dih, orang aku yang tiap hari ditinggal latihan? Udah ah, aku nanti kan pulang lagi kalau udah mau PKKMB kuliahan."

Nadine menggigit bibirnya dari dalam dan mengangguk. "Titip salam ke Mamah dan Papah, ya. Bilangin, maaf belum kesana buat ketemu."

Noah mengangguk paham, ia melirik kearah Theo sebelum menghela nafas. "Titip kakak gue, Yo. Lain kali kalau mau dibawa keluar negeri, minimal kabarin lah. Masa gue dengernya dari kakak gue pas lo udah selesai mesenin tiket. Mana ga ngajak gue, modus lo?"

Theo mendelik. "Nadine mah ga bawel-bawel amat kayak lo. Lagian jetlag lo jelek."

Noah memutar matanya malas. "Lawan Qatar nanti bawa kakak gue lagi?"

"Kagak, bertabrakan jadwalnya sama latihan PERBAKIN nanti." Tersenyum jahil, Theo mendekatkan bibirnya ke telinga Noah. "Lawan Australia nanti, gue bawa Nadine kesana lagi."

Mata Noah memicing sebelum menghela nafas jengah. "Apasih,"

Theo tertawa. "Lo juga, kalau mau berangkat ayo aja."

Nadine menggeleng, Theo ini lantaran tidak punya keluarga dan uang sponsor serta bonusnya terlalu lancar, membuatnya mudah menghamburkan duit. "Heh, gausah pengaruhin Noah sembarangan. Dan kamu juga Noah, sopan dikit dong kalau ngomong sama Theo."

Theo mengangguk setuju diiringi senyum penuh kemenangan. "Denger tuh, panggil gue tuh pakai 'kak' harusnya kalau perlu ngomongnya pakai baginda-hamba."

Noah mendelik jijik. "Cocotmu."

Noah lalu membalas tatapan garang Nadine dengan cengiran khasnya. Remaja itu kembali menarik kakaknya masuk ke pelukannya, tangannya dengan lembut mengelus surai coklat Nadine.

"Kak, tolong sembuh ya? Mamah sama Papah pasti kangen anak perempuan mereka yang selalu ngehindar. Kalau sembuh dalam waktu dekat, tolong balik ke Bandung dan ayo omongin semuanya secara kekeluargaan. Kamu korban, kamu nggak seperti yang kamu tuding ke diri kamu sendiri." Noah lalu menatap mata Nadine lama sebelum menempelkan bibirnya ke pucuk kepala kakaknya.

"Titip salam juga, buat kak Nathan."

***

Theo menatap bingung kearah Nadine, semenjak kembali dari bandara hingga sekarang gadis itu terus sesegukan. Namun bukan hanya itu masalahnya, layaknya seorang supir Theo dibiarkan mengemudi didepan sedangkan Nadine duduk dibelakang dengan sekian banyak ceceran tisu.

"Udahan deh ah, alay." Cibir Theo

Nadine melemparkan sebongkah tisunya kearah Theo. "Alay mata lo. Adek gue udah dewasa, Yo. Gimana dong..? So sweet banget."

Theo memutar matanya malas. Sejak tadi mereka hanya memutari kompleks perumahan Nadine sebab awalnya Theo menghargai kesedihan gadis itu, namun setelah memasuki putaran ke sembilan itu, rasanya ia sudah cukup muak.

"Diem ga, Dine?"

Nadine segugukan sambil menarik ingusnya. "Lo mah, ga ngehargain banget."

The fck. Theo mencoba sabar, pria itu menghela nafas dan memutuskan parkir saja didepan rumah Nadine kala gadis itu masih tidak mau keluar. Sekali lagi Theo hanya menatapnya diam-diam dari kaca, kembali ujung bibirnya terangkat. Kalau bawel kayak tadi, rasanya Nadine yang disana sudah sembuh. Batinnya.

"Yo, menurut lo Noah keren, kan?"

Mulai. Si kakak yang diam-diam sangat membanggakan dan menyanjung-nyanjung adiknya itu kembali bersuara.

"Masih kerenan gue."

Nadine menatap pantulan wajah Theo dari kaca kemudi sebelum mengangguk membenarkan.

"Iya sih, tapi lo se-keren ini, kok belum dapet yang pas ya, Yo?"

Theo mendelik, pria itu lalu tersenyum dengan sombongnya. "Emang belum ada yang cocok aja, gue ga buru-buru nyari pasangan. Masih betah gue hidup kayak gini."

Nadine menaikkan satu alisnya sambil menghapus sisa-sisa airmatanya. "Karena gue ya, Yo?"

Theo tidak langsung menjawab, pria itu lalu mendengus saat menyadari tatapan sedih Nadine ke padanya.

"Bukan, lah. Pede amat."

Nadine tetap merasa bersalah meski Theo mengelaknya. Sebab bukan satu dua kali ia tak sengaja mendengar namanya sebagai pemicu hubungan PDKT pria itu terhalang.

Dahinya disentil oleh Theo kala ia terlarut dalam lamunannya. "Random amat dah obrolan lo, udah deh, ayo turun aja."

Nadine berdesis sakit meski begitu bibirnya tersenyum tipis. "Yo, padahal lo bisa ngabaiin gue, atau seenggaknya lo bisa bersikap biasa aja ke gue, biar semuanya juga berjalan mudah bagi lo."

Theo tahu, Nadine keras kepala. Selain senang bermain kata, gadis itu juga terlalu banyak menolak pengalihan topik yang Theo bawa.

"Sembuh dulu deh, Dine. Baru gue mikirin."

"Kalo gue ga sembuh?"

Theo berbalik dengan gemas dan menarik hidung gadis itu.

"Lo gue bawa didepan paus, gue nikahin."

Setelah mengatakan itu, segera ia keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Nadine. "Masih gamau keluar?"

Nadine mendengus, ia keluar dengan cepat. "Ogah banget gue sama lo. Yang ada denger lo nge-war tiap hari sama Noah."

***

TBC

Nathan Tjoe-A-On -Targeting LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang