8

1.7K 144 7
                                    

Nadine menghembuskan nafas berat saat ia memasuki rumah minimalis yang hanya ia tinggali bersama adiknya yang kini beranjak dewasa.

"Noah?" Bibirnya bergerak untuk memanggil sang adik yang tidak menampakkan diri, mendengar suara ribut dari belakang rumahnya Nadine segera berjalan kesana.

Dibelakang rumah Nadine ada sebuah halaman yang cukup luas, halaman itu, dulunya digunakan Noah untuk berlatih bola atau sekedar ngegym bersama kakaknya—Nadine.

Adiknya Noah Bumiputra dengan mimpi yang mungkin harus dikubur. Nadine tidak mengikuti sepakbola bukan tanpa alasan, namun untuk menghargai adiknya yang mengalami cidera dipergelangan kaki saat anak itu sempat bergabung dengan timnas U-17 di usia 13 tahun saat itu yang membuat anak berkelahiran 2006 itu tak mampu lagi bermain di hobi yang niatnya ingin ia tekuni hingga dewasa itu.

Noah berbalik menatap Nadine dan menyimpan bolanya di keranjang tempat bolanya dan berjalan mencium tangan kakaknya.

"Balik lebih cepat? Firasatku mengatakan Theo lagi-lagi membuat masalah denganmu." Ucap Noah sambil merangkul kakaknya masuk kedalam rumah.

Dua adik kakak dengan usia terpaut cukup jauh itu memang memiliki ikatan yang sangat dekat karena hanya tinggal berdua. Orang tua Nadine sendiri lebih memilih tinggal di Bandung, menikmati masa tua sambil bernostalgia tentang kisah mereka bersama kota Bandung.

"Kamu sok tau."

Noah tertawa mengejek. "Emang ada orang lain yang bisa buat kamu ninggalin latihan kamu selain Theo yang lagi-lagi mengganggumu?"

Nadine mencubit kecil lengan Noah. "Kak Theo, bukan hanya Theo."

Bagaimana tidak ditegur. Noah selalu memanggil Theodore hanya dengan nama panggilannya padahal jenjang usia mereka berbeda 8 tahun. Rasanya kurang sopan.

Noah mengadu kesakitan, "kamu kan juga lebih muda dari Theo, dan memanggil namanya saja!" Protes Noah dengan bibir mencebik.

Nadine memelintir bibir itu dan berjalan kekamarnya. "Aku dan Noah hanya beda setahun. Kalau mau seperti aku, harusnya kamu lahir sebelum tahun 2000an."

***

Seminggu semenjak teguran dari Theo, Nadine dan Theo akhirnya mulai kembali berbicara. Tidak dapat dihindari karena keduanya merupakan favorite pelatih mereka dan sering dilibatkan bersama.

"Bagaimana dengan, Nathan?" Tanya Theo

Nadine mengangkat bahunya, saat ini mereka berdua tengah duduk disalah satu booth kopi kenangan ditengah kota Metropolitan tersebut.

"Tidak ada apa-apa."

Theo mengangguk, rasanya ingin kembali menasihati namun takut hubungan mereka yang baru saja membaik ini akan kembali mengeruh.

"Lo kalo pengen ngomong tuh kentara banget tau ga? Tapi gue hargain deh usaha lo, kalo yang lo tahan itu bisa ngerusak mood gue."

Theo tersenyum kecut. Pria itu lantas mengangguk. "Gue pernah bilang, biarin gue jadi 911 lo. Jadi kalo ada apa-apa, cerita ya?"

"Anything, anytime, and anywhere. I have resposibilities for you, Dine." Lanjut Theo

Nadine hanya terdiam. "Gausah ngerasa begitu. You don't have responsibilities about me, Yo."

Theo kembali terdiam. Ia benar-benar ingin menjaga tuturnya.

Menyinggung sedikit saja trauma Nadine berarti akan membawa gadis itu kembali ke rasa sakitnya dulu. Itulah yang Theo sadari akhir-akhir ini. Nadine sama sekali belum sembuh, ia hanya menutupinya.

"Nadine, kan?" Tepukan dibahu Nadine berhasil menaikkan bulu kuduk gadis itu, segera ia menggeser kursinya mendekat kepada Theo dan bersembunyi dibalik tangan pria itu.

Theo juga dengan sigap melindungi Nadine dan menatap tajam pria asing didepannya itu.

"W-wow, sorry-sorry. It's me, Nathan's friend. Justin Hubner."

Nadine masih bersembunyi dibalik tangan Theo. Theo melirik gadis itu, inilah Nadine yang ia tahu, jangankan untuk duduk berdua didepan stadion yang nyata-nyatanya masih dilihat oleh Theo. Nadine membutuhkan waktu beberapa bulan untuk memastikan rasa aman didekat pria asing,  itupun harus ada Theo. Namun mengherankannya, saat bersama Nathan, hal tersebut tidak berlaku.

"Saya bareng Nathan singgah disini," Justin kembali menjelaskan alasannya saat melihat reaksi Nadine yang cukup membuatnya panik juga.

Mendengar nama Nathan, barulah Nadine berani melongokkan kepala keluar dari tangan Theo. Meski demikian ia masih memeluk tangan itu, mencari rasa aman.

"Kamu yang sering komentar.. di postinganku?"

Justin akhirnya bernafas lega, dengan semangat ia mengangguk dan menarik kursi yang ada didepannya untuk turut diduduki.

"Wah kamu mengenal saya? Meski demikian tidak mengikuti kembali instagram saya? Cukup menyedihkan.."

Theo memutar bolamatanya. "Jika tidak ada urusan pergi saja." Usirnya

Justin hanya melirik Theo sedetik sebelum kembali memusatkan perhatiannya ke Nadine. "Boyfriend?"

Nadine menggeleng kecil. "Sahabatku." Jawabnya

Justin mengangguk kecil, ia lalu mengangkat tangannya memanggil beberapa temannya yang tengah mencari-cari dirinya.

Melihat semakin banyak pria disekitarnya membuat Nadine semakin mengeratkan genggamannya ke Theo. Sedikit untuk diketahui, gadis itu juga melakukan hal yang sama saat berada di stadion meski Theo sudah membooking cukup kursi guna membiarkan tidak ada orang yang terlalu dekat dengan Nadine.

"Nadine?"

***

Tbc
10 comment and +30 vote hari ini double up😵‍💫😵‍💫😵‍💫

Nathan Tjoe-A-On -Targeting LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang