13

2K 158 18
                                    

Nathan dan Theo kini duduk disalah satu kursi lobby hotel yang ditinggali Nathan.

"Besok saya akan balik ke Belanda."

Theo mengangguk. "Kamu mengatakan hal yang sama ke Nadine?"

Nathan menggeleng. "Belum."

Theo menghela nafas berat. "Menurutmu kamu dan Nadine itu, apa?"

Nathan diam dalam beberapa saat. "Ntahlah, dari awal sikap saya.. jika hal ini sama dengan kehidupan saya di Rotterdam, itu cukup untuk memperlihatkan saya menginginkan dia."

"Begitupun dia,"

Theo tersenyum miring sebelum kembali membuang nafas. "Nadine itu rumit."

Nathan menaikkan satu alisnya.

"Apakah kamu pernah mendengarnya? Hal yang terpenting bagi gadis di negeri ini."

Nathan menggeleng tak yakin.

"Virginity."

Dahi Nathan mengerut. "Maksudmu?"

"Aku sebenarnya tidak memiliki hak untuk mengatakan ini. Sama sekali tidak. Bahkan mungkin Nadine akan berhenti berbicara padaku jika tau aku memberitahumu."

"Tapi Nadine terlalu abu-abu, Nathan. Aku tidak mau kamu merasa terlalu frustasi untuknya, jadi aku akan menceritakan tentang traumanya."

"She losed her virginity in her 20 yo. Issa bout 5 years ago. Dan itu bukan keinginannya, dia dipaksa oleh kekasihnya sendiri saat itu."

Nathan terdiam beberapa saat, ia cukup terkejut.

"Bagi gadis-gadis disini, menjaga kesucian adalah hal terpenting. Saat itu keduanya berhubungan sangat sehat didepan mataku, tentu aku percaya pada Jonathan-pria itu, karena dia adalah temanku. Aku yang memperkenalkan mereka. Tanpa tahu bahwa Nadine tersiksa selama 1 tahun terakhir saat itu. Nadine waktu itu memberanikan diri meminta putus, dan itu menyulut emosi Jonathan hingga... memerk*sanya." Suara Theo terdengar sangat kecil diakhir, sejujurnya ia sama sekali tidak bisa mengucapkan kata itu, apalagi kali ini dia bercerita tentang Nadine.

"Nadine hidup dalam trauma yang cukup berat. Butuh setengah tahun aku meyakinkan dia bahwa aku ada dipihaknya dan akhirnya dia membuka diri padaku."

"Aku yang menemaninya selama ini. Keadaannya terlalu sulit, apalagi Nadine menolak keras jika aku mengajaknya ke psikiater karena takut berita itu tiba-tiba sampai ke orang tuanya. Dan berita ini hanya ditahu oleh aku, Noah, Nadine dan Jonathan. Ah sekarang tambah dirimu juga."

"Pernyataan soal hubungan akan memantik api trauma masa lalunya. Jadi, itulah mengapa aku mengatakan dia rumit untukmu."

"Jadi, Nathan. Menurutmu bagaimana? Aku yakin kamu orang yang sangat menuruti Tuhan. Meski tinggal diluar negeri, bagaimana menurutmu tentang Nadine?"

"Kamu bisa melepas semua kontak sekarang jika merasa dibohongi dan ingin mundur."

Nathan terhenyak, ia terdiam melamun beberapa saat membayangkan betapa sulitnya hidup Nadine sebelumnya cukup membuat tangannya mengepal kuat.

"Dia pernah bilang dia akan panik jika disentuh, atau berada cukup dekat dengan orang asing, butuh beberapa bulan baginya untuk memutuskan apakah akan aman berada didekat seseorang atau tidak. Tapi sejak awal, aku mendekatinya saat ia sendiri dan dia bahkan menyentuhku saat itu."

Theo memaksakan senyumnya. "Aku juga mempertanyakan hal itu, bahkan aku yang sejak awal sudah mengenalnya butuh 6 bulan agar dia bisa percaya padaku lagi."

Nathan mengulum bibirnya. "Terimakasih sudah menceritakannya."

Theo melirik, "lalu keputusanmu?"

"Jika saya pergi, apa kamu yang akan bertanggung jawab atas dirinya?"

Nathan Tjoe-A-On -Targeting LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang