9

1.8K 133 6
                                    

"Nadine?"

Nadine yang tengah menunduk itu tiba-tiba menatap kosong, fikirannya yang berat tiba-tiba menghilang saat ia dengan perlahan menaikkan pandangannya.

Nathan, orang yang akhir-akhir ini turut membingungkan Nadine setelah menyadari tingkah anehnya sendiri semenjak bertemu pria itu.

Sejak awal, Nadine menerima tangannya berjabatan. Sejak awal, Nadine berani mengajarinya menggunakan senjata dengan sekian physical touch. Nadine juga yang menunggunya dan mencarinya di cafe serta mall tempat mereka bertemu sebelumnya. Nadine yang selalu mendekatkan diri. Nadine yang selalu menerima bak dirinya tidak memiliki trauma sialan itu.

Nathan melirik kearah tangan Nadine dan Theo cukup lama, namun melihat Nadine yang nampak panik membuatnya mengusir Justin dan Marselino yang ada disana.

Ditariknya kursi yang tadi diduduki oleh Justin dan duduk didepan Nadine.

"Terjadi sesuatu?" Matanya beralih dari Nadine dan Theo secara berirama. Merasa ditanya Theo akhirnya menjawab karena tahu Nadine tidak akan menjawabnya.

"Her trauma button was getting kick, by your partner anyways." Jawab Theo

"Trauma?"

Nadine segera melepaskan tangan Theo begitu merasa dirinya jauh lebih tenang, diangkatnya wajah yang mulai kembali normal untuk menatap Nathan.

"Hai, Nathan. Maaf membuatmu bertemu dengan diriku yang seperti ini, aku tidak apa-apa sekarang."

Alis Nathan bertekuk sebentar. "Kamu benar-benar tidak ada apa-apa? Kamu terlihat.. kacau."

Nadine tersenyum tipis. "Tidak kenapa-napa."




Nadine dan Nathan akhirnya berjalan-jalan berdua setelah Theo mendapat telpon dari teman lamanya untuk meminta kumpul. Meski sudah menolak, Nadine tetap menyuruh Theo kesana karena merasa dirinya sudah membaik.

Nadine melirik kearah Nathan. "Gapapa kita jalan kaki begini?"

Nathan hanya menjawabnya dengan senyuman tipis.

"Berjalan kaki juga baik buat mengurangi stres."

Nadine tersenyum tipis, menatap langkah kakinya yang terus maju. "Terimakasih sudah mengajakku jalan-jalan. Meski aku yakin, ini juga ga mudah buat kamu lakuin apalagi di Jakarta."

Nathan mengangkat bahunya. "Kenapa perlu khawatir? Saya mengenakan topi, juga masker."

Nadine terkekeh kecil. "Bagaimana di Rotterdam? gambar yang terakhir kamu kirimkan padaku, itu sangat cantik."

Nathan masih tersenyum dibalik maskernya. Gambar yang dimaksud Nadine adalah foto langit Rotterdam menjelang malam hari yang berwarna pink. Entah mengapa melihatnya berhasil membuat dirinya kepikiran tentang Nadine dan memutuskan untuk mempotretkannya untuk Nadine.

"Rotterdam selalu sama, Nadine. Jika berkenan, datanglah kesana nanti. Saya akan mengajakmu melihat senja setiap hari kamu disana. Saya melihat kamu membuat sorotan igs tentang langit. Jadi saya sengaja mengirimkannya. Saya pikir kamu menyukainya."

"Benar.. aku sangat suka, langitnya sangat cantik."

Nathan terdiam beberapa saat. Ah benar sangat cantik. Senyuman itu, mata yang turut tersenyum itu, dan suara indah itu.

"Benar, sangat cantik."

Keduanya akhirnya pulang dengan Nathan yang ikut ke rumah Nadine karena gadis itu tidak berani naik taksi seorang diri jika pengemudinya bukan wanita.

Nathan membukakan pintu untuk Nadine, mempersilahkan gadis itu masuk lebih dulu, disusul dengan dirinya yang turut masuk.

"Maaf ya, merepotkanmu."

Nathan tersenyum saat ia akhirnya melepaskan masker dan topinya. "Bukan masalah besar. Saya senang jika saya bisa berjasa untuk kamu."

Nadine menaikkan alisnya dengan bergurau. "Agar suatu saat kamu bisa menagihku balas budi?"

Nathan berpura-pura berfikir sebentar sebelum mengangguk mantap. "Kamu mendapatkan pointnya."

Keduanya lantas tertawa sebelum diam dengan tatapan penuh arti.

"Nadine, tentang trauma kamu.."

Nadine menggigit bibir bawahnya sebelum akhirnya mengalihkan mata. "Singkatnya, aku akan panik jika disentuh, atau berada cukup dekat dengan orang asing, butuh beberapa bulan bagiku untuk memutuskan apakah akan aman berada didekat orang ini stau tidak, yah tentu saja kecuali Theo dan adikku. Hanya trauma masa lalu."

Melihat nada enggan Nadine, Nathan tak ingin membahasnya lebih jauh dan memilih mengalihkan topik. "Kamu memiliki adik laki-laki?"

Nadine tersenyum sambil mengangguk. "Ya, usia kami terpaut 7 tahun, meski begitu kami sangat dekat."

Nathan mengangguk paham, jika berbeda tujuh tahun berarti.. "berarti dia sekarang berusia sekitar 14 tahun?"

Nadine menatap Nathan dengan bingung sebelum tersenyum geli. "14 tahun?"

Nathan mengerutkan alisnya. "Yah, kufikir kamu berusia sekitar 20 atau 21 tahun, dan beda 7 tahun jadi.."

Belum sempat Nathan melanjutkan ucapannya, tawa Nadine sudah lebih dulu terdengar.

Gadis itu tertawa lepas, dan itu.. cantik.

Tanpa sadar kedua ujung bibir Nathan ikut tertarik meski ia merasa sedikit malu, sepertinya tebakannya salah.

"Apa yang kamu bicarakan? Usiaku sudah 25 ditahun ini."

Bak tertampar, wajah Nathan bersemu merah, rasanya malu apalagi mendengar tawa gadis itu, namun sebagian dirinya juga merasa senang melihat tawa lepasnya.

"Kamu tidak terlihat seperti itu.."

Nadine tersenyum tipis. "Terimakasih sudah mengatakan itu. Kepolosanmu barusan benar-benar membuatku cukup senang."

Mereka akhirnya kembali diam,  Nathan kembali mengingat-ingat tentang percakapan mereka barusan. Perihal trauma gadis itu. Sebenarnya trauma macam apa? Apa penyebab trauma itu muncul?

"Singkatnya, aku akan panik jika disentuh, atau berada cukup dekat dengan orang asing, butuh beberapa bulan bagiku untuk memutuskan apakah akan aman berada didekat orang ini stau tidak, yah tentu saja kecuali Theo dan adikku. Hanya trauma masa lalu."

"Tapi kenapa tidak dengan saya?" Gumam Nathan

Nadine melirik. "Kamu mengatakan sesuatu?"

Nathan segera menggeleng dengan senyum tipisnya. "Bukan apa-apa."

Taxi itu kemudian berhenti tepat didepan rumah Nadine. "Mau mampir? Aku akan memperkenalkanmu dengan Noah."

Nathan dengan cepat menanggapi bahwa Noah adalah adik Nadine. Pria itu melirik ponselnya yang sedari tadi ia bisukan, beberapa panggilan masuk dari rekan-rekannya karena sudah hampir waktu latihan.

"Mumpung ada taxinya, saya akan langsung kembali ke tempat latihan saja. Terimakasih, mungkin lain waktu."

Nadine mengangguk, "aku juga berterimakasih."

Gadis itu dengan cepat merogoh dua lembar uang berwarna merah dan menyodorkannya ke taxi. "Pak sekalian punya dia juga, ya."

Nathan mengerutkan alisnya. "Saya saja yang membayarnya."

Nadine keluar dari taxi itu dengan cepat. "Jangan khawatir, aku bukannya akan kehabisan uang karena itu." 

"Tetap saja.."

"Sampai jumpa, Nathan!" Teriak Nadine sembari gadis itu berlari memasuki rumahnya.

Nathan hanya diam melihatnya, kembali ujung bibirnya terangkat sambil menggeleng. "Benar-benar.."

"Kita ke stadion gelora bung karno, pak."

***

Tbc


Ketemu pankapan lagi yhhh🥰🥰🥂

Nathan Tjoe-A-On -Targeting LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang