16

1.5K 140 4
                                    

Nadine membaringkan tubuhnya dikasur. Terhitung minggu ini hingga kedepannya tidak akan ada aktivitas latihan untuknya sebab coach dan beberapa perwakilan Indonesia lainnya akan melaksanakan latihan intensif beberapa waktu kedepannya.

Gadis itu lantas mengguling dirinya hingga mendapati dirinya dipantulan cermin yang tak jauh jaraknya dari kasur itu.

Ia baru saja pulang dari pertemuan dengan psikiater yang diaturkan oleh Theo, dan ternyata tidak seburuk itu untuk berbagi cerita meski masih ada rasa cemas, takut sang dokter mengorek tentang orangtuanya.

Dokter Anisa, psikiater yang katanya kenalan Theo merupakan sosok yang sebelumnya bertemu dengan Nadine. Tampang khas Jawanya yang kental dengan perilaku keibuan sungguh membuat Nadine merasa aman dan nyaman berbagi cerita meski dihari pertama mereka bertemu.

"Nathan tampaknya seseorang yang sangat pengertian. Bagaimana perasaanmu saat bersamanya? Apakah kamu merasa lebih nyaman dibandingkan dengan orang lain?" Suara lembut bagai alunan lagu itu mengisi ruangan yang hanya diisi oleh Nadine dan dr. Anisa.

"Yah... Bersamanya, rasanya aku lebih tenang. Ada saat-saat di mana aku bahkan bisa lupa sejenak tentang rasa traumaku." Nadine mengambil jeda sebentar, "Tapi setiap kali aku mulai merasa nyaman, rasa takut itu kembali. Aku takut akan merusak segalanya jika aku tidak bisa mengatasi trauma ini."

"Perasaan takut itu sangat wajar, Nadine. Penting untuk diingat bahwa penyembuhan adalah proses yang bertahap. Kamu sudah membuat kemajuan besar dengan bisa merasa nyaman dengan Nathan. Itu menunjukkan bahwa kamu mampu membuka diri lagi, meskipun perlahan."

"Tapi aku takut.. aku takut masa laluku akan kembali menghantui dan merusak segalanya. Nathan tidak tahu apa yang telah ku alami. Bagaimana jika dia berubah ketika tahu?"

"Kamu tidak harus terburu-buru. Ketika kamu merasa siap, kamu bisa berbicara dengan Nathan tentang masa lalumu. Berdasarkan caranya menunjukkan ketertarikannya sejauh ini, aku yakin dia akan mengerti dan tetap mendukungmu."

"Tapi bagaimana jika dia tidak bisa menerima?Bagaimana jika dia melihatku berbeda?"

"Risiko itu selalu ada, Nadine. Tapi kamu berhak untuk hidup tanpa bayang-bayang trauma masa lalu. Memberi tahu Nathan tentang apa yang terjadi adalah langkah besar, tapi kamu harus melakukannya pada saat yang kamu merasa siap. Yang terpenting, kamu harus jujur pada dirimu sendiri dan perasaanmu."

"Aku ingin mencoba, Dok. Aku benar-benar ingin memberi diriku kesempatan untuk bahagia. Meskipun suatu saat nanti bukan dengan Nathan, tapi aku ingin mencoba lepas dari trauma ini."




Nadine menenggelamkan wajahnya dibalik bantal. Rumah terasa sepi tanpa Noah. Gadis itu akhirnya memilih bermain di laman instagramnya, sesekali meninggalkan like di beberapa postingan.

Sebuah postingan menarik perhatiannya, kala melihat salah satu likenya terdapat nama Nathantjoeaon.

Trust God always. Merupakan isi tulisan dari postingan tersebut, Nadine menekan tombol like dan tersenyum tipis.

Nathantjoeaon mengirimi anda pesan.

_______________

Now

Nathantjoeaon
Nadine, hari ini sunrisenya sangat indah, saya memotretnya untukmu.
[Pict]

Nadinema_
Wow, how beautiful! Thank you Nath, you really made my day!

Nathantjoeaon
Beautiful as you
How's your day?

Nadinema_
Hahah lol
It's boring
Noah back to my mom n dad for a while:(
[Read]

_______________

Nadine sempat heran, namun beberapa saat panggilan video muncul di ponselnya membuatnya terlonjak kala nama Nathan ada disana.

Dengan ragu gadis itu mengangkatnya, hingga menemui wajah pria yang kini duduk di kursi kemudi mobilnya.

Diseberang sana, Nathan nampak tersenyum lebar dengan rambut sedikit lepek, mungkin ia baru saja selesai jogging, fikir Nadine.

"Harap saya tidak mengganggumu?"

Nadine menggeleng, "tidak sama sekali."

"Tidak ada kegiatan hari ini?"

Nadine mengangguk. "Tidak ada latihan untukku, seluruh anggota timnas yang akan berlaga di Qatar tengah melakukan latihan intensif bersama."

Nathan mengangguk paham. "Oh ya, Nadine."

Pria itu nampak memilih beberapa kata sebelum kembali membuka suara. "Kamu mungkin sudah sadar. Tapi bila kedepannya saya ada kesempatan lagi, saya ingin mengatakannya langsung. Tentang perasaan saya, apa boleh?"

Nadine terdiam beberapa saat, jantungnya berdebar namun rasa takut masih menyertainya.

"Nathan, aku tidak sebaik yang kamu fikir. Aku juga tidak semenarik apa yang kamu fikir."

"Memang seberapa baik dan menarik kamu yang aku fikirkan? Apa kamu tahu sebatas mana?"

"Kenapa aku?"

Nathan tersenyum kecil, pintu mobil disampingnya kedengaran terbuka, dibuktikan pula dengan pria itu yang tersenyum dan menoleh kearah sampingnya.

"Saya ingin mengatakannya secara langsung, Nadine. Saya harus segera kembali, maafkan saya, kamu boleh mematikan teleponnya."

"Tapi.."

"Aku dengar dari Theo kamu akan ada di Qatar beberapa minggu kedepan. Bisakah kita bertemu saat itu?"

"..aku akan menontonmu."

"Senang mendengarnya."

Nathan memperhatikan Nadine yang masih tak kunjung menutup teleponnya, melihat wajah kebingungan gadis itu entah kenapa cukup menghiburnya, mungkin karena itu terlihat cukup lucu.

"Nadine."

"Hm? Ah, akan kumatikan teleponnya."

"Kenapa kamu? Karena saya menyukaimu. Kamu yang menjadi dirimu sendiri, saya suka."

***

TBC

Noh double authornya mau balik persiapan final buat besok (buset dosen kurang ngotak ambil jadwal di hari sabtu👊👊)

Nathan Tjoe-A-On -Targeting LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang