34

1K 142 22
                                    

Nadine hanya bisa menatap canggung wanita dihadapannya. Melirik kearah Nathan, pria itu hanya menggerakkan kepalanya sembari menguatkan genggaman tangannya pada satu tangan Nadine yang duduk disampingnya.

Siapa yang tidak kaget. Pria mana yang membawa mantan kekasihnya untuk klarifikasi? Mungkin ada, tapi Nadine fikir itu hanya ada di dongeng atau setidaknya jauh dari Nadine.

Dihadapannya, duduk Marcha dengan setelan yang benar-benar menunjukkan kelasnya. Semerbak wangi memenuhi hidung Nadine sesaat wanita itu datang.

"Perkenalkan, aku Marcha. Orang yang kamu lihat di gambar itu." Marcha tersenyum tipis.

Dia ramah. Namun meski disembunyikan, tatapan sedihnya masih terlihat sekilas.

"Aku tidak tahu ada yang menangkap layar postingan Ruby saat itu. Saat melihatnya pun aku langsung meminta Ruby untuk menghapusnya, mungkin itu sebelum Nathan sendiri melihatnya. Aku benar-benar merasa bersalah jika menjadi batu sandungan diantara kalian."

"Saat itu aku baru saja mendarat setelah penerbangan dari New York ke Rotterdam. Saat itu aku juga sedang tidak dalam kondisi baik, jadi tanpa disengaja aku ketiduran di bahu Nathan. Dan selanjutnya mungkin sudah Nathan ceritakan kepadamu."

"Tapi kamu harus percaya padanya. Jujur saja, beberapa hari yang lalu aku sempat memintanya meninggalkanmu."

Alis Nadine berkerut, namun kode dari Nathan membuatnya harus menghela nafas dan kembali mendengarkan Marcha.

"Kufikir hubungan kalian belum sejauh itu. Kufikir setidaknya masih ada kesempatan untukku, karena bagaimanapun kondisinya masih aku yang menang di tengah lingkaran pertemanan Nathan."

"Namun saat itu, Nathan benar-benar mengatakan tidak ada kesempatan kedua bagi kami. Dia bahkan tega menceritakan apa yang dia rasakan saat bersamamu dan tidak dia rasakan saat bersamaku." Marcha terkekeh kecil, diam-diam tangannya mengepal dibawah meja.

Bagaimanapun, bukannya semua akan sulit untuk melupakan cinta yang benar-benar didukung oleh pertemanan?

Namun, Nathan melakukannya. Entah pria itu yang mudah melupakan kenangannya, atau memang seberpengaruh itu gadis yang saat ini memulai hubungan dengannya.

Apapun itu, Marcha sungguh menahan diri untuk tidak menangis.

"Nathan bilang kepadaku, aku hanya perlu mengatakan ini kepadamu. Karena ada urusan, aku harus segera pergi sekarang juga."

Nadine tak tahu harus membalas apa, namun ia menghela nafas turut berdiri saat melihat Marcha hendak beranjak darisana.

"Aku minta maaf. Jika menurutmu aku merebutnya disaat kamu berfikir kalian masih ada kesempatan." Ucap Nadine

Marcha tentu terkejut. "Ya? Ah tidak, aku tidak berfikir begitu-"

"Tapi, Nathan sudah bersikap layaknya obatku. Aku membutuhkannya. Dan aku pasti akan memperlakukannya dengan baik. Mencintai dengan seluruh cinta yang kumiliki, karena dia milikku."

Marcha terdiam saat ia mendengarkan ucapan Nadine, tangannya tetap mengepal diam-diam dibalik tubuhnya. "Apa yang ingin kamu katakan?"

"Aku terpukau saat kamu baru datang. Kamu cantik, anggun, aku tidak tahu bagaimana menyebutnya namun aku yakin banyak yang akan bersedia membanjirimu dengan rasa cintanya."

Nadine memajukan tangannya dengan senyum tipis. "Aku Nadine. Aku tidak berharap ini adalah pertemuan terakhir kita, namun aku harap di pertemuan selanjutnya kamu tidak menatap kami seperti itu lagi."

Marcha menunduk, tersenyum sumbang saat ia hanya bisa menatap uluran tangan Nadine. Ketahuan ya?

"Meski terlambat, aku harap yang terbaik untuk kalian berdua."

Marcha berbalik meninggalkan keduanya. Rasanya terlalu malu jika ia menerima uluran tangan itu jadi ia memilih abai dan pergi dari sana.





***

Nathan hanya terdiam memperhatikan gadisnya yang diam-diam menahan tangisan ditengah perjalanan mereka hendak pulang.

Bibirnya mengulum kecil namun tak berani mengeluarkan suara. Takut melihat airmata yang tertahan itu akhirnya keluar.

"Kamu kok ga marah kembali dengan aku? Aku sudah salah paham akan hal yang tidak berguna."

Meski sudah menahan diri, ternyata Nadine sendiri yang memulainya. Nathan tersenyum kecil, mengajak Nadine duduk di kursi yang kebetulan ada dipinggir jalan sana.

"Kenapa aku harus marah? Aku senang kamu cemburu itu tandanya kamu mencintaiku. Tapi bukan berarti aku sengaja melakukan apapun hanya untuk membuatmu cemburu."

"Tapi setidaknya jangan terlalu baik, aku rasanya melampiaskan semua kekesalanku ke kamu."

Nathan menatap datar airmata yang mulai turun membanjiri pipi Nadine yang memerah. Selang beberapa detik pria itu menghela nafas dan mulai menangkup wajah Nadine, menepis butir demi butir airmata disana.

"Ada salahnya menjadi baik kepada kekasihku?"

Nadine menggeleng polos sebagai jawaban.

Nathan akhirnya tersenyum kecil. Saat melihat Nadine berhenti menangis ia lalu mulai mengeluarkan sapu tangan baru dari sakunya dan mulai mengusap wajah Nadine dengan hati-hati.

"Merasa lebih baik?"

Nadine menggeleng, menjatuhkan kepalanya ke bahu Nathan sebelum bergumam. "Peluk aku."

Merasa bingung namun Nathan tetap melakukan seperti apa yang di pinta gadis itu.

"Jauh lebih baik. Maafkan aku yang lagi-lagi salah paham."

Ujung bibir Nathan semakin tertarik keatas mendengarnya. Dieratkannya pelukan itu sembari ia membenamkan hidungnya di rambut gadis itu, menghirup aroma vanilla khas yang keluar dari sana. Manis, semanis orangnya.

"That's okay, honey. I love you, that's the point okay?"

He's mine. My sun.

Nadine mengangguk. "I love you more, Nath." Don't leave me..

"I'll never leave you. I'm stuck with you. So please, lain kali jika hal seperti ini kembali terjadi, jangan ragu langsung memarahiku daripada melakukan yang seperti kemarin. Sudah pernah kubilang, kan?"

Nadine mengangguk. Gadis itu semakin membenamkan dirinya didalam pelukan Nathan. "Mhm."

Nadine bisa mendengarkan, dari posisinya ia dapat merasakan debaran jantung yang tak jauh berbeda dengan miliknya di dada pria itu.

"Selanjutnya aku akan lebih dewasa menanggapi yang seperti ini."

"Glad to hear that, honey."




***

TBC

Nathan Tjoe-A-On -Targeting LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang