Bab 7

400 45 0
                                    

Terima kasih yang masih mengikuti cerita ini.....

Jangan ragu kalau mau kasih komen atau vote ya hehehe

Benar kata Dilan rindu itu berat. Menahan rindu itu menyakitkan. Bukan hanya hatiku yang terasa sakit juga seluruh badan. Badanku rasanya lemas, tidak bergairah untuk melakukan apapun selain rebahan sambil berandai-andai atau mengenang masa di mana kami bertemu. Semalam Mas Angga menelpon, dia membatalkan kepulangannya karena katanya proyek yang tengah dia kerjakan harus selesai minggu ini. Ya Tuhan kalau saja jarak Jakarta-yogyakarta hanya satu atau dua jam, aku sudah pergi menemui Mas Angga, menghabiskan 1 atau 2 jam ngobrol ngaler-ngidul diselingi makan atau ngemil, seperti yang biasa kami lakukan saat bertemu.

Padahal Ibu sudah menyiapkan satu ekor ayam kampung untuk dimasak sup ayam kesukaan Mas Angga, aku juga sudah membeli setoples cookies untuk teman kami ngobrol di teras rumah. Muti sudah aku sumpal dengan uang 50 ribu agar tidak berisik menggodaku saat Mas Angga datang.

Kalau dihitung-hitung sudah enam bulan aku dan Mas Angga tidak bertemu. Biasanya Mas Angga pulang tiga bulan sekali, sekalian pulang menemui orang tuanya di Solo.

"Mungkin sekali-kali Mba yang harus ke Jakarta, gantian gitu. Biar ketahuan juga kalau ternyata Mas Angga selingkuh,"celetuk Muti tanpa menoleh, kepalanya masih menekuri buku di meja di hadapannya.

"Ngomong apa sih kamu, ngaco."

"Mba di Jakarta itu banyak godaanya."

"Sok tahu kamu." Aku mendelik sebal.

"Mba lihat aja di media sosial, perempuan kantoran SCBD Jakarta bening-bening dan stylish gitu."

"Kantor Mas Angga bukan di SCBD."

"Ya kan nggak jauh beda." Kali ini Muti menoleh,"Vibesnya itu gimana gitu," katanya dengan gerakan tangan memperagakan kekaguman pada perempuan-perempuan pekerja Jakarta yang dilihatnya di media sosial.

Mas Angga bukan tipe cowok caper atau tebar pesona, cenderung cool, itu yang membuat aku menyukainya. Aku kenal Mas Angga sejak kuliah. Kami tidak satu jurusan, dia anak teknik, bukan cowok yang ganteng-ganteng amat, tapi nampak manly, seperti kebanyakan anak teknik.

"Kamu kalau ngomong pake empati dikit." Komentar Muti selalu membuatku senewen. Kadang aku tidak paham dengan hubungan kami yang lebih suka saling meledek daripada saling memuji.

"Maksudku biar pikiran Mba terbuka." Muti menatapku dengan tampang menyesal tapi itu tidak meredakan kekesalanku padanya. Aku beranjak seraya melemparkan bantal ke arahnya lalu mengambil kunci motor dan tas kecil.

"Mba mau kemana?"

Tanpa mengidahkan pertanyaan Muti, aku keluar kamar dan menutup pintu.

Ide yang diutarakan Muti sempat terlintas, gantian aku sesekali ke Jakarta, tapi pasti tidak diijinkan Ibu. Anak perempuan kok nyamper-nyamperin lelaki, di mana harga dirinya. Kurang lebih seperti itu yang akan Ibu katakan. Kalaupun diam-diam ke Jakarta tanpa minta ijin Ibu, aku menginep di mana? Nggak mungkin menginap di kost an Mas Angga karena kami belum halal. Menginap di penginapan yang murah sendirian, takut ada apa-apa. Jakarta gitu lho, yang apapun ada dan bisa terjadi.

"Kemana Yu?" Ibu mengangkat kepalanya dari kain yang tengah digunting di atas meja. Ibuku seorang penjahit, dulu banyak sekali pelanggan Ibu, seiring waktu berkurang karena kini baju siap pakai banyak dijual dengan harga murah dan model bermacam-macam di online shop, bukan itu saja bahkan sekarang baju bekas pun dijual murah di online shop dan banyak peminatnya. Sekarang orang hanya menjahit baju-baju khusus seperti baju seragam keluarga untuk acara pernikahan atau kebaya.

"Rumah teman, Bu."

"Jangan malam pulangnya."

"Iya Bu, sore juga pulang,"

"Yo wes hati-hati."

Aku mendorong motor keluar teras dan menyalakannya. Aku belum punya tujuan ke mana selain ke minimarket. Tidak ada kebutuhan yang ingin aku beli hanya mampir membeli satu dua camilan. Motor yang aku kendarai melewati kebun-kebun pisang dan beberapa petak sawah. Aku tinggal di kota kabupaten, di mana masih terdapat kebun-kebun cukup luas, jarak antar rumah masih renggang, hampir setiap rumah punya pekarangan yang cukup luas untuk dan ditanami pohon buah-buahan, beberapa rumah masih memelihara ayam dan atau kambing. Suasana pedesaan masih terasa walaupun seiring waktu jumlah kebun dan tanah kosong berkurang.

Jalan penghubung antar kampung dan antar kota kabupaten masih lenggang. Jalan antar kota kabupaten dan kota Yogya biasanya ramai saat weekend atau musim liburan. Sampai di parkiran mini market terlintas kenapa tidak ke rumah Rara. Rara adalah temanku di sekolah, kami sama-sama guru baru. Aku telepon Rara dan menanyakan kalau dia tidak acara dan tidak keberatan aku mau ke rumahnya. Siapa sangka Rara antusias dengan rencanaku. Aku membeli beberapa makanan dan minuman untuk teman mengobrol.

Setelah bertemu orang tua Rara dan memperkenalkan diri aku ditarik ke kamar Rara yang terletak di lantai dua. Beda dengan kebanyakan rumah di kampung, rumah Rara besar dan modern.

"Ya ampun ngapain bawa makanan banyak-banyak Yu." Rara menggeleng-gelengkan kepalanya saat aku mengeluarkan isi tas belanja, beberapa snack dan minuman.

"Sekalian mampir di mini market tadi."

Aku takjub dengan kamar Rara yang besar dan komplit. Ada kamar mandi di dalam kamarnya - untuk ukuran rumah di daerah – ini sangat mewah, apalagi kamar mandinya super bersih dengan keramik mencilak. Ada televisi dan rak buku cukup besar. Aku mengamati deretan buku di rak. Kebanyakan buku didominasi cover warna-warna cerah. "Aku kira orang science seperti kamu nggak suka novel romantis lho. Kukira kerjaan kamu ngulik soal matematika terus." Rara seorang guru matematika.

"Itu dulu. Kamu nggak suka baca fiksi ya."

"Suka sih tapi sesekali aja bacanya." Aku memang suka membaca fiksi tapi tidak sampai membaca banyak dan beli bukunya seperti Rara. Waktu kuliah biasanya aku pinjam novel teman, setelah selesai kuliah, tidak ada teman untuk dipinjami buku. Dulu, bagiku membeli buku adalah kemewahan. Sekarang aku bisa membeli buku dengan gajiku tapi aku aku memilih membeli buku yang berhubungan dengan pekerjaan seperti tips mengajar, tips berbicara di depan banyak orang tanpa gugup – karena aku masih gugup jika di depan kelas, macam-macam metode mengajar, psikologi anak, pokoknya buku-buku yang berhubungan dengan pekerjaanku sebagai guru.

"Sekarangkan banyak novel online, Ra."

"Aku memang baca buku onlinenya tapi kalau bukunya bagus dan dicetak, aku beli."

Aku mengangguk-ngangguk walaupun sebenarnya kurang paham, kalau sudah baca versi onlinenya kenapa beli versi bukunya? Kan eman uangnya.

"Aku suka baca novel romance tapi belum pernah ngerasain hal romatis sesungguhnya, maksudnya punya pacar," kata Rara sambil tertawa.

"Tenang aja saat ketemu yang cocok, teori soal romantisnya tinggal dipraktikkan. Tapi masa sih kamu belum pernah punya temen dekat cowok."

Rara menggeleng,"Aku takut. Takut dapat cowok yang macem-macem." Rara tergidik.

"Tapi sekarang udah nggak takut lagi kan?"

"Sedikit. Kitakan nggak tahu Yu, lelaki itu benaran tulus sayang atau cuma muslihat." Tanpa dijelaskan dengan detail aku paham maksud Rara. Ngakunya sayang tahunya hanya memanfaatkan, entah memanfaatkan materi atau fisik.

"Ya kalau macam-macam tinggal putus aja."

"Kalau sudah kadung cintakan susah."

Benar juga sih, untunglah Mas Angga tidak pernah macam-macam.

Complicated BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang