Bab 31

318 49 2
                                    

Yang mengikuti cerita ini, mau donk follownya, biar semangat lanjutin ceritanya hehehe. Boleh juga vote dan komennya...

Oh ya untuk yang suka cerita thriller romance, bisa ikuti cerita Hidden Evidence ya ....

Aku tahu rasanya jatuh cinta karena aku pernah merasakannya. Mas Angga cinta pertamaku, jatuh cinta pada semester ke empat masa kuliah. Masa sekolah menengah atasku berjalan datar,  lebih fokus pada bagaimana agar nilai sekolahku bagus sehingga bisa kuliah ke PTN dengan jalur rapot sayangnya usahaku gagal. Aku harus belajar lagi untuk ikut seleksi nasional. Tapi aku tidak menyesal melalui masa sekolah menengah atas dengan agak serius. Aku selalu ingat nasehat Bapak, masa depan adalah buah dari yang kita lakukan hari ini. Jadi kalau aku ingin masa depanku baik, memiliki pendidikan yang lebih baik dari kedua orang tua – yang hanya lulusan sekolah menengah atas , ya aku harus belajar. Ibu dan Bapak percaya pendidikan bisa merubah nasib. Ibu dan Bapakku orang kampung, dengan bisa sekolah sampai SMA saja sudah pencapaian luar biasa pada masa itu.

Kalau kata Tan Malaka, pendidikan tinggi memang tidak menjamin sukses, tapi mampu menjadikan kita pribadi yang lebih merdeka dan berbahagia. Lebih mudah menjalani hidup dan menyederhanakan berbagai permasalahan di dalamnya.

Aku kenal Tan Malaka melalui buku-bukunya dari Mas Angga karena kami sering menghabiskan waktu berdua – pacaran - dengan menghadiri diskusi buku. Tentu saja aku hanya jadi pendengar, menatap dengan takjub setiap Mas Angga mengemukakan pendapatnya pada diskusi itu.

Jadi aku termasuk perempuan yang tidak percaya, menikah dini - usia 18 tahun - menjamin masa depan cerah. Mungkin ada yang nasibnya baik dengan menikah di usia 18 tahun tapi kejadian itu lebih sedikit dibanding ketika perempuan memiliki pendidikan, keterampilan atau kecakapan tertentu. Kalau kata Bu Hardjo, jodoh itu akan memantaskan dirinya,"Jodoh itu akan memantaskan dirinya, Yu. Ingin mendapatkan lelaki baik, harus memantaskan diri menjadi perempuan baik. Ingin jodohnya orang pintar, harus memantaskan diri menjadi perempuan pintar, itu berlaku juga untuk laki-laki." Aku tidak tahu Bu Hardjo menyindirku atau murni memberi nasenat. Yang pasti kata-kata itu membuat jantungku berdetak kencang, tengukku memanas, aku takut Bu Harjo tahu, jika diam-diam aku menyukai Pak Aryo dan itu tidak pantas. Sayangnya menyingkirkan perasaan itu tidak mudah. Obrolan itu terjadi ketika aku mengantarnya pulang ke Klaten.

Bu Hardjo melanjutkan nasehatnya, katanya, perempuan itu harus memiliki bargaining power yang setara dengan lelaki, dengan begitu hak dan pilihan hidupnya lebih baik dan tidak tergantung laki-laki.

Lalu aku teringat Ibuku, pendidikannya hanya sekolah menengah atas, tapi memiliki kecakapan menjahit dan dilakoninya sejak menikah dengan Bapak, sehingga saat Bapak harus pergi menghadapNya Ibu tidak terlalu terpuruk, dia bisa survive, meneruskan cita-cita Bapak terhadap kami anak-anaknya.

Yang kurasakan sekarang ini, persis dengan yang aku rasakan pada Mas Angga dulu. Rasanya jatuh cinta itu,  ingin selalu bertemu dengan orang yang membuat kamu jatuh hati atau istilahnya rindu, ingin nampak pantas dan menarik di depannya, ingin diperhatikan. Rasa yang harusnya menyenangkan tapi menjadi merasa bodoh ketika orang yang kita sukai, tidak memiliki perasaan sama.

Saat ini, aku duduk tak jauh dari Pak Aryo, sama – sama di meja yang biasa digunakan untuk meeting, hanya kami berdua di ruangan ini, harusnya berempat dengan Pak Hendri dan Andini, tapi Pak Hendri mendadak cuti karena ada keperluan keluarga, Andini baru saja ijin pulang karena katanya ada bimbingan di kampusnya. Kami sedang menyusun budgeting untuk proyek pembangunan sebuah hotel. Keadaan yang membuatku tidak nyaman dan tidak fokus. Bagaimana bisa fokus kalau samar-samar  mencium wangi parfum Pak Aryo, ujung mataku – tanpa perlu repot menoleh - bisa menangkap garis wajah serius Pak Aryo yang entah bagaimana membuat aku terpesona. Sadar Yu, sadar...aku meruntuki diri sendiri dalam hati. Aku memijit-mijit pelipis, berharap pikiran kembali fokus pada tabel angka-angka di laptop, bukan malah memikirkan Pak Aryo.

"Pusing ya Yu?"

"Eh, nggak Pak, cuma..."Aku meringis, mendadak kehilangan kata-kata.

"Lapar ya?" Pak Aryo tertawa, dia melirik jam tangannya.

Spontan aku juga melihat ke arah jam dinding di ruang meeting ini. Jam 12 kurang 15 menit.

"Yu, makan siang di sini saja ya, saya sekalian pesankan. Mau makan apa?"

Aku menoleh, kulihat Pak Aryo tengah memegang ponselnya.

"Nasi ayam bosan ya. Tengkleng mau?" Pak Aryo mengangkat kepala dari ponsel dan melihat ke arahku. Seketika wajahku terasa menghangat, jantungku berdetak lebih cepat. Jangan ge-er Yu, jangan ge-er....

"Apa saja Pak." Lalu aku kembali memfokuskan diri pada template budgeting di laptop.

Tak lama terdengar dering ponsel, bukan dering ponselku jadi pasti punya Pak Aryo. Aku menahan diri tidak menoleh, tidak kepo, tapi telingaku tidak bisa tidak mengabaikan percakapan Pak Aryo.

"Iya Bu. Lagi sibuk Bu, ini juga masih di ruang meeting. Kok mendadak. Ya sudah."

Terdengar desahan Pak Ayo sebelum meletakkan ponselnya dengan agak keras, dengan ujung mata kulihat kerut kekesalan di wajahnya. Kerut yang sudah aku hapal karena dulu, Pak Aryo sering menunjukkan ekspresi itu  jika aku melakukan kesalahan.

"Yu?"

"Iya Pak." Aku menoleh.

"Saya makan siang bareng Ibu. Ibu  mendadak ke sini. Makanan pesanan saya, kasih ke Pak satpam saja. Maaf ya, Yu."

"Oh ya nggak apa-apa, Pak. Kalau begitu saya lanjutkan di meja saya ya Pak," kataku lalu mengklik tombol save dan menutup laptop. Setelah memastikan tidak ada barang yang ketinggalan, balpoint, kertas post it dan berkas-berkas, aku beranjak dari kursi dan berjalan ke arah pintu keluar dengan mendekap laptop.

Baru saja aku akan menarik handle pintu, pintu terbuka, nampak Bu Hardjo dan seorang perempuan di belakangnya, Ratih. Saat bersamaan bisa kucium wangi makanan yang menggugah selera. Aku melihat Ratih membawa sebuah tas belanja yang sepertinya berisi makan siang.

"Siang Bu." Aku menangkupkan tangan di dada, memberi salam pada Bu Hardjo lalu mengangguk ke arah Ratih.

"Eh Yu, sibuk ya?"

"Sudah selesai Bu, mari." Aku membuka pintu lebih lebar, lalu berjalan ke luar setelah mengangguk pada Ratih dan Bu Hardjo.

Aku merasa memerlukan seember air untuk mengguyur tubuhku yang tiba-tiba kepanasan. Ruanganku kosong, Bu Mita sepertinya sudah keluar untuk makan siang. Aku duduk, memijat-mijat pelipis yang mendadak merasa perlu dipijat. Dering interkom di meja membuat aku tersentak kaget. Aku mengangkatnya, terdengar suara Pak Suryono, sekuriti,"Mba Ayu, pesanan makanannya sudah datang."

"Oh ya, saya ambil ke depan sebentar lagi." Ya sebentar lagi sampai emosiku yang tak karuan ini mereda.


Yang suka terpesona dengan cowok-cowok aktivis kampus, mari merapat sama Ayu heheheh

Complicated BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang