Bab 21

334 37 5
                                    


Terima kasih yang masih ngikutin cerita ini....

Jangan ragu vote dan komen hehehe


Aku berhasil menghindari berinteraksi dengan rekan kantor sejak pagi, jika biasanya berbasi-basi say hello saat di pantri atau berpas-pasan, hari ini aku melewati jam sepuluh pagi tanpa membuat minuman di pantri. Jika Andini mengajak ngobrol-menanyakan ini itu, aku menjawabnya dengan menoleh sekilas, sok sibuk. Aku juga berencana titip beli makan siang sama Andini, tidak bergabung makan siang di luar. Semua dilakukan untuk menyembunyikan mata sembab. Tapi nasib baik tidak berpihak sepenuhnya padaku, Pak Aryo menelpon meminta ke ruangannya.

"Siang Pak," sapaku begitu masuk ke ruangannya tanpa senyum. Catat ya aku sudah tidak lagi memberikan senyum pada Pak Aryo.

"Siang," Pak Aryo mengangkat wajahnya sebentar lalu kembali ke laptopnya.

Aku menarik kursi di depannya."Proposalnya masih saya kerjakan Pak," kataku sambil menunduk, menatap jemariku sendiri, menghindari Pak Aryo melihat mataku yang sembab.

"Saya nggak bertanya itu kok."

Jadi mau apa Bapak memanggil saya? Pertanyaan itu hanya berani kuungkap dalam hati. Jadi aku diam, menunggu.

"Bagaimana interviewnya kemarin?"

"Kok Bapak tahu?" Spontan aku mengangkat wajah. Aku mengajukan cuti dua hari kemarin dengan alasan ada urusan keluarga dan tidak ada satupun di kantor ini yang tahu aku interview ke Jakarta.

"Oh jadi benar ya tebakan saya." Pak Aryo mengangkat wajahnya, tersenyum.

Aku menghembuskan nafas, lemas, tak menjawab.

"Mata kamu kenapa?"

Pertanyaan yang seketika membuatku tersadar jika sejak tadi aku tidak lagi menunduk. Aku buru-buru mengucek mata,"Sakit mata Pak."

"Bukannya habis nangis?" tanya Pak Aryo dengan suara tawa tertahan.

Emosiku sedikit naik. Kalaupun habis nangis memang kenapa? Kan bukan urusannya. Aku menahan diri untuk tidak mengeluarkan kata-kata itu. Teringat konfrontasi yang pernah kulakukan dulu dan kusesali. Ingat Yu, Pak Aryo itu bosmu.

"Saya ada perlu ke Klaten, Pak Rahman ke bank nganter Bu Mita, kamu bisa kan setirin saya, sekalian kamu cek persiapan Indra untuk pameran bulan depan."

"Iya Pak bisa."

Kulihat Pak Aryo melirik jam tangannya sebelum berkata,"Kita berangkat sekarang."

Spontan mataku melihat ke arah jam dinding yang ada di ruangan ini. Jam setengah dua belas. Duh padahal  sudah lapar. Perjalanan ke Klaten dua jam, berarti  harus menahan lapar selama dua jam.

Saat mengiakan permintaan Pak Aryo tadi aku lupa jika kendaraan yang digunakan adalah mobil Alphard Pak Aryo. Beberapa tombolnya masih aku hapal tapi menyetirnya masih membuat gugup.

"Tenang aja Yu nyetirnya, santai, jangan panik," kata Pak Aryo seperti bisa membaca kekhawatiranku, ketika  mulai menyalakan kendaraan.

"Iya Pak." Aku melirik Pak Aryo lewat kaca spion, kulihat juga bayangan diriku dengan mata sembab. Nampak menyedihkan sekaligus memalukan tak heran jika Pak Aryo menertawaiku tadi.

"Oh iya Yu, nanti kita mampir makan siang dulu." Aku menarik nafas lega. Selain lapar aku merasa perlu makan untuk menyalurkan kesedihanku. Sejak semalam aku membayangkan semangkuk bakso yang pedas, asam dan gurih. Bakso dengan isian daging cincang dan cabe rawit tak lupa kerupuk putih. Masalahnya apa Pak Aryo mau mampir ke warung bakso? Air liurku rasanya mau menetes setiap melewati warung bakso di pinggir jalan.

Complicated BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang