Terima kasih yang mengikuti cerita ini....
Aku sampai di rumah Bu Hardjo jam tujuh lebih 20 menit. Mbok Anah menyambutku dengan senyum antusiasnya yang khas. Dan aku seperti melihat kelegaan dalam senyumnya. Lega karena seseorang yang ditunggunya sudah datang. Kami bersalaman.
"Sehat Mbok?"
"Alhamdulillah sehat. Masuk Mba, Ibu minta nunggu di dalam." Aku membuntuti langkahnya masuk ke dalam rumah. Ini pertama kalinya aku masuk ruang tamu Bu Hardjo. Waktu kecil Ibu melarangku masuk ruang keluarga dan ruang tamu rumah Bu Hardjo. Aku dan Ibu datang selalu lewat pintu samping yang terhubung langsung ke ruang makan sekaligus dapur, ruangan yang paling luas di rumah ini. Alasannya, Ibu takut aku menyenggol barang atau pajangan yang ada di sana lalu pecah. Karena penasaran ada apa di ruang keluarga yang bersebelahan dengan ruang makan itu, biasanya aku mengintip dari pintu ruang makan. Yang Ibu katakan benar, banyak pajangan dari keramik di sana, ada guci-guci ukuran besar. Foto-foto dengan bingkai kaca di atas meja pajang. Foto-foto keluarga yang menggantung di dinding, vas bunga dari kaca di meja. Benda – benda kecil dan unik di meja sudut ruangan, aku tidak bisa melihatnya dengan jelas karena jauh.
Aku bisa membayangkan kebingungan Ibu jika aku secara tak sengaja memecahkan barang-barang itu. Membayangkan wajah galak Bu Hardjo, delikan matanya yang tajam selalu membuatku ingin berada di balik punggung Ibu.
Ruang tamu tidak terlalu besar, satu set meja kursi tamu kayu jati dan meja di dekat pintu masuk yang dilengkapi cermin. Ada jam dinding antik menggantung di sana, dengan lempeng besi bulat yang selalu bergerak ke kanan kiri seiring bergeraknya jarum jam dan lukisan kaligrafi yang sangat indah.
Baru saja aku hendak duduk Mbok Anah berkata,"Masuk sini Mba, Ibu minta nunggu di ruang keluarga."
Dan tiba di ruang keluarga yang ternyata tidak banyak berubah dari terakhir kulihat bertahun-tahun lalu. Susunannya sama, hanya foto di dinding yang bertambah banyak juga foto di atas meja pajang yang terletak di sisi kanan menempel pada dinding. Meja panjang berupa lemari berlaci itu setinggi pinggang dengan panjang sekitar dua meter. Di atasnya terletak berbagai macam pajangan, foto berfigura kaca, aneka cinderamata dari berbagai daerah dan luar negeri. Miniatur candi Borobudur, sepasang pantung lelaki dan perempuan Jawa dengan sikap duduk, miniatur patung Liberty, bola kaca berisi miniatur lanskap musim salju, patung gajah kecil bertuliskan Thailand dan banyak cinderamata cantik dan unik lainnya. Cinderamata yang sepertinya menjadi bukti kunjungan Bu Hardjo dan keluarganya ke suatu tempat.
"Tunggu ya Yu, Ibu masih di kamar."
"Iya Mbok." Aku duduk di sofa, dinding di sebelahku dihiasi banyak foto keluarga. Foto yang sebenarnya menerbitkan penasaran sejak kecil karena di rumahku, foto tersimpan dalam album hampir tidak ada foto yang dipajang di dinding. Ibu baru memajang foto di dinding setelah aku lulus kuliah yaitu foto aku mengenakan toga diapit Ibu dan Muti.
Kulihat foto Bu Hardjo sekeluarga dengan latar belakang gunung Bromo, foto saat anak-anaknya saat masih kecil. Ada foto pernikahan Mba Ratna, foto wisuda Pak Aryo mengenakan toga diapit Ibu dan Pak Hardjo. Ketiganya tersenyum ke arah kamera dengan latar gedung bertingkat dan sebuah danau, tertulis di bawahnya Wisuda Universitas Indonesia.
Pak Aryo nampak gagah, tubuhnya tegap, dengan garis wajah yang mengingatkanku pada Pak Hardjo. Dan seingatku, belum pernah melihat Pak Aryo tersenyum selebar dan sebebas itu di kantor. Bahkan aku hampir tidak pernah melihat Pak Aryo tersenyum kecuali senyum tipis basa-basi. Yah, aku kira semua orang tahu penyebabnya. Pak Aryo lebih sering menampilkan ekspresi yang sukar ditebak. Tidak nampak marah juga tidak nampak ramah. Tiba-tiba aku merasa turut merasakan kesedihan Pak Aryo, membayangkan bagaimana tabrakan itu terjadi, membuat tergidik ngeri dan mataku terasa perih.
"Dari tadi Yu," sapa Bu Hardjo yang baru keluar dari kamar, tangannya membawa setumpuk kain batik.
"Nggak Bu." Aku mengerjap-ngerjapkan mata.
Bu Hardjo duduk di depanku, meletakkan kain batik di meja. "Kita akan ketemu Ibu walikota, bendara Kasunanan dan beberapa pengusaha batik di Solo." Terang Bu Hardjo.
"Ibu mau kasih cinceramata buat Ibu walikota dan Bendara Kasunanan, kira-kira yang cocok yang mana ya, Yu?"
Menurut penglihatanku batik-batik yang ditunjukan Bu Hardjo bagus semua. Ada yang didominasi warna coklat, ada juga yang cerah seperti batik pesisir.
"Mungkin yang berwarna cerah ini Bu, karena Ibu walikota masih mudah dan modis," aku menunjuk satu batik berwarna kuning dan merah dengan motif burung.
Bu Hardjo mengangguk-ngangguk
"Kalau begitu yang ini buat Bendara ya?" Bu Hardjo menunjuk batik berwarna coklat pupus.
Setelah pilih memilih batik selesai, kami menuju Solo. Aku yang menyetir mobil Bu Hardjo.
"Bisnis batik itu bisnis yang feminim Yu, perlu sentuhan perempuan, dan bukan sekedar bisnis yang berkutat soal keuntungan, ada nilai seni dan pelestarian budaya yang diikutsertakan. Bisnis yang harus pake hati." Bu Hardjo pembuka percakapan ketika sedan yang aku kemudikan keluar dari pekarangan rumahnya.
Lalu tanpa diminta Bu Hardjo menceritakan awal mulanya dia bisnis batik. Berawal dari rasa suka dan cintanya pada batik, rasa khawatir pembatik tulis akan hilang seiring waktu karena generasi muda enggan membatik mengingat upahnya kecil. Bu Hardjo berkeinginan mensejahterakan dan melestarikan para pembatik tulis.
"Modal nekat Yu, sampai tahun ketiga merugi, mencari pembeli, promosi dari mulut ke mulut. Buka toko hanya laku 5 lembar sebulan. Ibu rajin ikut pameran, kumpul dengan sesama wirausahawan, dari sana jaringan Ibu bertambah. Nekat sewa toko, bikin merk, pameran ke luar negeri, bikin proposal ke perusahaan menawarkan batik bikinan Ibu. Tapi karena Ibu melakukannya dengan suka hati, Ibu senang batik, ya senang saja. Membangun bisnis itu memang seperti itu Yu, setahun dua tahun tidak nampak untungnya karena dalam proses membangun, masih harus modal."
Bagaimana tetap senang padahal merugi? Karena Ibu memiliki back up dana cukup, orang kaya. Coba jika Bapakku yang memulai bisnis batik, karena dia suka batik, terus ngemodal hingga dua tahun, mungkin sudah habis rumah kami terjual. Di sinilah peran privilege. Tentu saja aku menggumankan pendapatku dalam hati.
Cerita itu mengalir sepanjang perjalanan dan aku mendengarkan, sesekali bertanya. Bu Hardjo juga menceritakan jatuh bangun usahanya saat pandemi Covid-19 yang membuatnya terpaksa menjual aset untuk tetap mengaji karyawannya.
"Ibu sempat khawatir tidak ada yang melanjutkan usaha ini, Anti ikut suaminya ke Singapore, Ratna sudah punya karir sendiri. Aryo juga waktu itu bekerja di Jakarta. Yang Ibu andalkan Bapakmu dan Mita. Ya semua ada hikmahnya, sekarang Aryo mau melanjutkan usaha ini juga usaha Bapak."
Aku merasa Bu Hardjo mengucapkan kelegaan itu dengan nada getir. Bayangan Pak Aryo yang tengah duduk diam dengan ekspresi tenang, melintas di benakku.
"Jangan diambil hati ya Yu, kalau Aryo marah-marah, maklumi aja. Dia masih menyesuaikan kondisinya," suara Bu Hardjo terdengar bergetar, dengan ujung mata aku melihat matanya berkaca-kaca. Tak kulihat sedikitpun keangkuhan seperti yang biasa tersirat di matanya. Aku jadi merasa bersalah karena pernah tidak menyukainya, pernah berharap hal buruk terjadi pada Bu Hardjo.
"Iya Bu," kataku pelan. Ingin sekali rasanya menggenggam tangan Bu Hardjo untuk sekedar menguatkannya. Dan aku merasa bersalah sudah menghibahkan Pak Aryo dengan Rara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Complicated Boss
ChickLitCerita dengan genre chicklit, komedi romantis. Romantika working girls, bukan drama cinta ala CEO. Waktu selalu punya cara membuat kejutan tak terduga, terutama dalam hal melibatkan perasaan..... Saat jatuh cinta dalam diam dan diam-diam. Sayangnya...