Bab 28

323 45 2
                                    

Semoga masih betah ngikutin cerita cintanya Ayu....

Berlibur ternyata membawa perasaan lega dan ringan yang tidak aku duga. Bangun tidur dengan semangat. Bahkan Ibu sampai heran aku bisa bangun tanpa bantuannya, cukup dari bunyi alarm ponsel. Ya sejak mendengar rencana perjodohan Pak Aryo semangat kerjaku turun, berimbas pada malas bangun pagi. Bunyi alarm tidak membuat aku benar-benar terbangun, harus dibantu suara Ibu. Tapi hari ini, sepulang dari berlibur ke Bandung, aku menemukan kembali semangatku. Ada rasa optimis bahwa aku bisa melalui rasa patah hati ini dan suatu hari  pasti menemukan jodohku, yang menyatakan perasaannya padaku, bukan sebaliknya.

Saat di Bandung kemarin, sebelum tidur, Rara memberi ide gila, katanya,"Kalau mendengar dari cerita kamu tentang Pak Aryo yang minta anter terapi, ngajak ke undangan, ngajak makan siang bareng, bisa jadi Pak Aryo suka sama kamu tapi ya mungkin dia minder karena kondisinya begitu. Jadi saranku bilang saja sama Pak Aryo kalau kamu suka sama dia."

Aku menatap Rara dengan mata terbelalak. Ide konyol apa ini?!

"Aku bilang duluan? Di mana harga diriku sebagai perempuan Ra. Lagipula ajakan makan siang karena kebetulan kami jalan pas makan siang, minta anter terapi karena Pak Rahman ijin cuti, ke undangan karena mewakili kantor."

Rara tertawa lalu katanya,"Sebenarnya nggak ada yang salah lho jika perempuan menyatakan perasaannya dulu pada lelaki, yang salah mindset kita. Kalau kita perempuan menyatakan perasaan atau cinta pada lelaki duluan, nggak lantas harga diri kita jatuh sebenarnya. Nggak ada hubungannya. Itu hanya soal kebiasaan."

"Dan melanggar kebiasaan di masyarakat itu ada hukum sosialnya, ya seperti dicap perempuan agresif lah, genit sampai murahan."

Rara mengangguk,"Karena tidak semua laki-laki open mind. Mereka merasa lebih berhak menjadi penentu - pengambil keputusan."

"Nah itu dia," seruku.

"Kalau begitu kamu harus melupakan Pak Aryo dan tunggu sampai seorang lelaki yang menyatakan perasaannya padamu duluan," ujar Rara sambil tertawa lalu menarik selimutnya hingga kepala. Tak lama kami tertidur.

Aku mengendarai motor ke kantor dengan hati riang, bawaannya ingin tersenyum terus. Rasa patah hatiku tidak sesakit sebelumnya. Bisa berbesar hati saat mengingat rencana perjodohan Pak Aryo, lebih semangat mencari lowongan pekerjaan di LinkedIn, bayangan kedinamisan kota Jakarta membuatku ingin bekerja di sana dan ya siapa tahu  bertemu jodoh di Jakarta. Aku tersenyum optimis.

"Pagi Yu?" Pak Aryo menyapaku lebih dulu ketika bertemu di parkiran.

"Pagi Pak." Aku mengangguk dan tersenyum.

"Gimana liburannya Yu?" tanya Pak Aryo begitu kami beriringan.

"Lumayan ngilangin stres Pak," kataku. 

"Pekerjaan di kantor bikin stres ya Yu," Pak Aryo terkekeh.

"Oh bukan begitu Pak maksudnya." Aku jadi panik sendiri, tak enak hati. "Ya penyebab stresnya bukan pekerjaan kantor kok Pak," salah satunya karena Bapak lanjutku dalam hati.

"Ya memang perlu liburan Yu, pekerjaan yang monoton, dikejar target memang bikin stres."

"Iya Pak, mungkin saya memang butuh refresing."

Kami berpisah di depan pintu ruangan Pak Aryo. Aku langsung menuju pantri untuk meletakkan oleh-oleh berupa pisang bolen. Hampir semua orang mampir ke pantri pagi-pagi untuk membuat kopi atau sarapan. Di Pantri sudah ada Pak Hendri, Mba Mirna dan Andini. Mereka langsung menyambut kue bawaanku dengan gembira.

Setelah membuat segelas kopi di pantri, aku ke meja kerja, menyimpan tas dan kopi lalu ke ruangan Pak Aryo untuk memberikan oleh-oleh. Pulang dari Singapore kemarin Pak Aryo memberi semua karyawannya oleh-oleh berupa aneka mata cinderamata, ada yang kebagian gantungan kunci, tempelan kulkas, coklat dan lain-lain, jadi aku merasa tidak enak hati tidak memberi Pak Aryo oleh-oleh.

Complicated BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang