Terima kasih yang sudah mengikuti cerita ini. ....
Aku masih shock mengingat kejadian yang baru saja terjadi, mendapati Pak Aryo jatuh. Aku masih ingat detail wajah Pak Aryo yang memucat, meringis menahan sakit dan sedikit panik. Aku tidak kalah panik ketika melihat darah mengucur keluar dari telapak tangannya. Bagaimana bisa Pak Aryo jatuh dari kursi rodanya? Pertanyaan itu berkutat di benakku sepanjang perjalanan ke IGD. Pak Rahman mengusulkan membawa Pak Aryo ke IGD rumah sakit tempat biasa Pak Aryo kontrol dan terapi, karena khawatir bukan hanya tangannya yang cidera tapi kaki atau punggungnya. Dari kaca spion depan, sekilas kulihat Pak Aryo duduk dengan ekspresi datar dan tenang, ekspresi yang biasanya kutangkap jika dia sedang sendiri, tidak sedang menegur atau mengkritik pekerjaanku. Mungkin benar yang dikatakan Rara, Pak Aryo bisa stres kalau menghadapi karyawan seperti aku yang sering melakukan kesalahan. Tangan kanan Pak Aryo menekan tangan kirinya yang masih mengeluarkan darah dengan pandangan mata mengarah ke luar jendela.
Sampai di rumah sakit kami langsung menuju IGD, beberapa perawat nampaknya sudah kenal Pak Aryo. Pak Aryo ditangani dokter, aku dan Pak Rahman menunggu di cafeteria rumah sakit sekalian makan malam.
Tanpa diminta Pak Rahman bercerita jika setiap minggu dia mengantar Pak Aryo kontrol dan terapi di rumah sakit ini.
"Mas Aryo pernah bilang, kalau terapi itu kakinya sakit seperti di tusuk tusuk pisau," kata Pak Rahman dengan suara pelan.
Aku ngilu membayangkannya. Selama ini aku mengira kaki Pak Aryo mati rasa.
"Pak Aryo bisa berjalan normal lagi kalau terapi rutin ya Pak?" tanyaku.
"Yang saya dengar dari terapisnya Mas Aryo perlu beberapa kali operasi lagi untuk bisa jalan tapi tetap tidak bisa berjalan normal harus memakai alat bantu," ungkap Pak Rahman dengan nada dan ekspresi penuh simpati. "Tapikan itu kan prediksi dokter ya Mba. Kalau Gusti Allah memberi kesembuhan bisa saja kan." Aku melihat ada harapan besar dan rasa optimis di mata Pak Rahman. Aku mengangguk mengiakan dan mengaminkan dalam hati. Tidak terbayangkan jika aku ada di posisi seperti Pak Aryo.
Dan aku baru menyadari sikap Pak Rahman kepada Aryo yang nampak mengabdi sepenuh hati. Saat membicarakan Pak Aryo matanya nampak berkaca-kaca, mungkin karena rasa simpati dan iba. Usia Pak Rahman sedikit lebih tua dari Ayahku, dia dulu supir pribadi Pak Hardjo.
Dengan rasa tidak enak hati karena terkesan jadi ghibah, aku bertanya penyebab Pak Aryo menggunakan kursi roda.
"Kecelakaan motor Mba. Kata Ibu, dari SMA Pak Aryo suka motoran. Bukan balapan, suka jalan-jalan jauh pake motor dengan teman-temannya. Katanya kecelakaan ini saat dia touring ke Lombok dengan teman-temannya."
Pak Rahman lalu bercerita jika Pak Aryo melakukan pengobatan di Singapore selama berbulan-bulan setelah kecelakaan terjadi. Setelah kondisinya agak membaik pengobatan dilanjutkan di Indonesia. Aku bisa membayangkan jumlah uang yang dikeluarkan Bu Hardjo untuk pengobatan Pak Aryo, tapi apa sih yang tidak dilakukan orang tua untuk anaknya, lautpun bisa disebrangi. Aku jadi teringat Bapak, saat mendorongku untuk kuliah, Bapak sampai menjual sepetak tanah untuk mewujudkannya.
***
"Kok tumben lemburnya sampai jam 10 Yu?" tanya Ibu begitu aku sampai rumah.
"Iya Bu," jawabku pendek. Aku tidak menceritakan penyebab keterlambatan ini, jadi Ibu mengira lembur. Aku juga tidak cerita pada Ibu kalau Bu Hardjo sudah pensiun dan perusahaannya dipegang anak Bu Hardjo. Heran bagaimana sampai Ibu tidak tahu tentang kecelakaan anaknya Bu Hardjo. Kecuali Ibu Hardjo meminta Mbok Anah merahasiakannya saat kecelakaan itu terjadi. Terlebih setelah kedua anak perempuan Bu Hardjo menikah tidak pernah lagi mengadakan acara besar-besaran otomatis Ibu tidak diminta ke sana untuk bantu-bantu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Complicated Boss
ChickLitCerita dengan genre chicklit, komedi romantis. Romantika working girls, bukan drama cinta ala CEO. Waktu selalu punya cara membuat kejutan tak terduga, terutama dalam hal melibatkan perasaan..... Saat jatuh cinta dalam diam dan diam-diam. Sayangnya...