Bab 13

329 49 4
                                    

Jangan ragu kalau mau vote atau komen ya hehehe

Terlepas dari beban pekerjaanku yang rasanya lebih berat daripada saat mengajar, aku mendapatkan banyak hal baru, rasanya hidupku jadi dinamis, termasuk dinamis dalam urusan mental. Yap aku selalu merasa uji mental jika berhadapan dengan Pak Aryo, nyaliku mengkeret. Aku sudah lulus kursus statiktik excel tapi masih melakukan beberapa kesalahan minor. Mungkin otakku tidak bersahabat dengan kumpulan data, bahkan bisa mual melihat setumpuk data, mau bagaimana lagi? Jadi aku memantapkan hati menerima kekesalan Pak Aryo jika melakukan kesalahan dan berusaha memperbaikinya.

Ruang pantri sore itu sepi karena ini satu jam menjelang pulang. Aku baru sampai kantor setelah mengantar Bu Hardjo ke Solo. Inginnya langsung pulang ke rumah tapi ingat pesan Pak Aryo jika setelah selesai aku harus kembali ke kantor. Aku membuat secangkir teh, setelah dirasa pas rasa manisnya, kubawa menuju meja kerja.

"Baru sampai, Yu?" Tanya bu Mita.

"Iya Bu." Aku meletakkan teh di meja dan membuka laptop, mengecek email. Harapanku Pak Aryo tidak mengirimkan tugas baru, biar besok pagi saja.

"Eh Yu, katanya kemarin Pak Aryo jatuh ya," tanya bu Mita setengah berbisik, telapak tangannya ia letakkan dimulutnya seolah dengan cara itu, suaranya tidak terdengar ke arah lain.

"Iya Bu."

Andini beranjak dari kursi dan mendekat ke mejaku,"Katanya Pak Aryo mencoba berdiri ya," tanyanya dengan pelan. Bu Mita mengikuti Andini, ia berjalan mendekat ke mejaku.

"Kalau soal itu saya tidak tahu." Tapi mungkin juga karena logikanya Pak Aryo tidak mungkin jatuh karena posisinya duduk. Aku jadi ingat obrolan dengan Pak Rahman soal terapi Pak Aryo dan kemungkinan Pak Aryo bisa berjalan. Jadi sangat mungkin Pak Aryo tengah mencoba berdiri.

"Eh Yu, baru datang, katanya dari Solo," Pak Hendri yang melintas depan ruangan menyapa dan masuk. Dia mengajukan pertanyaan yang sama dengan Bu Mita. Saat aku menjawab pertanyaan Pak Hendri, Mas Radit, IT di kantor ini, nyelonong masuk dan ikut mendengarkan. Tak lama datang Mba Ratih orang marketing masuk juga ke ruanganku. Rupanya jatuhnya Pak Aryo menyebar dengan cepat

Aku mulai merasa gerah bukan karena udara panas, karena AC di ruangan menyala, tapi gerah karena tidak enak hati menceritakan ini. Aku menahan diri untuk tidak mendramatisir saat bercerita, sedatar mungkin dan tidak detail. Aku melihat ekspresi kecewa pada beberapa orang, mungkin karena ceritaku tidak sesensasional dugaan mereka.

Dering interkom di meja menyelamatkanku dari kepungan pertanyaan kepo orang-orang.

"Ayu, bisa ke sini sebentar." Terdengar suara Pak Aryo. Waduh, apa Pak Aryo tahu kita tengah membicarakannya dan aku sebagai narasumbernya? Ingatan itu membuat mataku melihat ke arah CCTV yang terpasang di lorong luar ruangan. CCTV yang memantau area tengah, meja resepsionis dan ruang menerima tamu, tapi jika pintu ruanganku terbuka – dan selalu terbuka, CCTV itu juga bisa merekam ruang ini, tepatnya mejaku karena tepat sejajar dengan pintu. Spontan mataku melihat ke arah CCTV yang terpasang tepat di dinding sebrang depan pintu ruanganku. Aku teringat, OB kantor Pak Diman, pernah cerita jika dia pernah melihat Pak Aryo sedang melihat CCTV di laptopnya.

"Baik Pak." Lututku tiba-tiba terasa lemas. Satu persatu orang yang tadi mengerumuniku pergi. Dengan langkah pelan aku menuju ruangan Pak Aryo.

"Sore Pak," sapaku sambil mengembangkan senyum. Senyum yang sebenarnya untuk meredakan ketakutanku. Aku menarik kursi di hadapannya.

"Sore."Pak Aryo menoleh sekilas dan tentu saja tanpa membalas senyumku. Gurat kekesalan terlihat di wajahnya. Pak Aryo membalikkan laptopnya ke arahku. Aku menahan nafas, siap menerima kekesalan Pak Aryo.

"Laporan yang kemarin. Ini kesalahan fatal Yu, semuanya sudah benar tapi kurang menambahkan satu angka nol tapi akibatnya fatal. Ini bukan sekedar angka tapi aset perusahaan."Dia menunjuk sejumlah angka di dokumen excel di laptopnya. Tentu saja aku tahu itu bukan sekedar angka tapi nilai proyek yang mencapai 10 digit.

"Lain kali minta periksa Bu Mita atau Andini sebelum diserahkan pada saya." Dengan kasar dia membalikkan lagi laptopnya.

"Tolong koreksi, besok pagi harus selesai. Kamu belum melakukan yang saya sarankan, belajar tentang statistik excel di buku atau youtube."

"Sudah Pak."

"Kalau begitu harusnya bisa donk."

"Iya Pak saya perbaiki," ucapku tanpa berani menatap wajahnya. Ya ampun kenapa aku tidak teliti padahal hanya kurang satu nol. Aku beranjak dari kursi.

"Eh mau kemana Yu?" pertanyaan Pak Aryo membuatku tergagap dan kembali duduk.

"Memperbaiki laporan Pak."

"Saya bilang kan besok pagi. Silahkan duduk."

"Iya Pak." Rasa simpatiku menguap setiap kali sikap Pak Aryo seperti ini, tatapan mata kesalnya, dagunya yang terangkat saat bicara. Aku tidak jadi menyesal telah membuatnya jadi bahan ghibahan dengan Rara.

"Kamu belum memberi laporan kegiatan di Solo tadi."

"Saya baru sampai sini Pak, maksudnya sekitar 10 menit lalu. Akan saya buatkan laporannya." Aku berdiri lalu membungkuk untuk kemudian berbalik.

"Siapa yang suruh membuat laporan. Silahkan duduk." Aku menelan ludah, Pak Aryo selalu sukses membuat aku gugup, panik, bingung dan pasti nampak bodoh.

"Laporannya dibicarakan saja, apa saja yang tadi dilakukan di Solo dan apa isi percakapannya."

Aku menarik nafas pelan semata untuk meredakan jantungku yang berdegub kencang karena takut salah. "Ada penawaran untuk pameran ke Jakarta. Untuk acara ulang tahun kota Solo, Ibu walikota pesan batik untuk cinderamata pejabat dari Jakarta. Ada pengusaha dari Jakarta yang berminat kerja sama dengan Ibu untuk membuka gerai batik di Mall di Jakarta. Tadi Ibu juga kenalan dengan desainer Ibu Kota tapi saya lupa namanya, dia menawarkan kerjasama. Ibu bilang semua akan dibicarakan dulu dengan Bapak karena sekarang keputusan ada di tangan Bapak."

Kulihat Pak Aryo tidak bereaksi, masih menekuri laptopnya, mengetikkan sesuatu. Jadi sebenarnya aku ngomong didengerin nggak sih?

"Saya sudah boleh pergi Pak?"

"Pergi kemana?"

"Maksud saya kembali ke ruangan saya."

"Saya belum selesai bicara. Kamu di Solo ngapain aja?"
Aku menahan diri untuk tidak memasang wajah kesal dengan pertanyaan Pak Aryo. Ngapain? Ya tentu saja mendampingi Bu Hardjo!

"Mendampingi Ibu, Pak."

"Hanya mendampingi? Tidak ikut bicara, memberi masukan atau ide?" Pak Aryo mengangkat pandangannya dari laptop.

"Tidak." Mana berani aku bicara saat di sana, Bu Hardjo mengenalkanku sebagai karyawan baru dan dia tidak meminta pendapatku, jadi aku sungkan. Pak Aryo sepertinya mencari-cari kesalahanku saja. Mencari alasan untuk memecatku mungkin, karena dia tidak setuju dengan ide Bu Hardjo memperkerjakanku.

"Selesai, kamu boleh pergi dari sini." Dia mengibaskan tangannya. Aku mengatupkan bibir rapat-rapat, menahan kesal karena caranya mengibaskan lengan membuat aku tersinggung. Iya aku memang bawahannya, tapi ya sopan sedikit. Dasar sombong, tidak heran dia mengalami cobaan seperti itu, runtukku dalam hati saat bersamaan aku merasa kejam dan jahat karena pikiran itu.

"Oh ya jangan lupa, laporannya besok pagi harus sudah selesai." Langkahku tertahan.

"Iya Pak."

"Yu, lain kali harus lebih aktif, inisiatif, jangan hanya manut," ujarnya dengan nada kesal

"Iya Pak."  Aku menunduk, tak berani menatapnya.

Complicated BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang