Bab 26

312 45 2
                                    


Boleh tingalkan jejak, dengan vote atau komen ya, biar author semangat heheheh..


Hari ini, hari pertama Pak Aryo kembali ke kantor setelah pengobatan dan perawatannya di Singapore. Semua karyawan begitu penasaran, apakah operasi Pak Aryo berhasil atau tidak. Mungkin Pak Aryo tidak bisa kembali normal, seperti pernah dikatakan Pak Rahman yang dikutipnya dari keterangan terapis Pak Aryo tapi pasti ada sedikit kemajuan kan jika operasinya berhasil? Walaupun aku tidak tahu seperti apa bentuk kemajuannya, mungkin berjalan dengan tongkat, mungkin bisa sesekali berdiri dan beragam kemungkinan lain. Aku termasuk yang menanti dengan berdebar-debar, tidak berharap berlebihan karena khawatir kecewa tapi berusaha menumbuhkan rasa optimis. Tentu saja selama sebulan ini aku mendoakan agar operasi Pak Aryo berjalan lancar.

Dan yang berbeda pagi ini dari hari biasanya, semua orang nampak memposisikan diri senormal dan senatural mungkin agar saat Pak Aryo datang  bisa  melihat, bisa mengintip dengan hati-hati saat  Alphard Pak Aryo memasuki area parkir.

Pak Hendri di ruanganku mengobrol dengan Bu Mita. Ruangan tempat aku, Bi Mita dan Andini memang memiliki jendela yang langsung menghadap area parkir depan, jadi bisa melihat kedatangan Pak Aryo secara langsung. Mas Firman, menghampiri Andini, ngobrol basa-basi.

Tidak biasanya Pak Radit yang duduk di kursi tunggu depan resepsionis sambil membaca majalah penerbangan, entah edisi kapan, yang memang diletakkan di sana untuk tamu mengisi waktu selama menunggu. Mba Mirna mematut diri di depan kaca bedaknya di kursi resepsionis, merapikan make up nya. Semua orang menunjukkan kepoannya, tipikal orang Indonesia banget. Menit-menit berlalu, akhirnya mobil Alphard Pak Aryo datang. Aku berhitung dalam hati ketika kulihat Pak Rahman keluar dari pintu kemudi dan berjalan menuju pintu penumpang, membuka dan membantu Pak Aryo turun dengan kursi rodanya. Terdengar helaan kecewa, tatapan iba dan simpati. Namun tidak ada satu orangpun yang berkomentar. Kembali ke meja kerja masing dengan langkah hati-hati seolah  cara itu adalah upaya memberi simpati pada Pak Aryo, begitulah aku melihatnya.

Meeting dibuka dengan Pak Aryo mengucapkan terima kasih karena selama kepergiannya semua projek berjalan sesuai planning. Pak Aryo juga mengucapkan terima kasih karena kami mendoakannya.

Pak Aryo nampak lebih berisi dari yang terakhir kulihat sebulan lalu, rambutnya sedikit gondrong, mungkin dia belum sempat cukur rambut. Dan senyumnya, entah perasaanku saja atau memang benar, nampak lebih manusiawi. Maksudku saat meeting biasanya senyum Pak Aryo itu ya senyum basa-basi, cuma sekedar menarik ujung bibir, matanya tidak ikut tersenyum. Awalnya memang menyebalkan karena Pak Aryo jadi nampak sinis. Kalau diingat-ingat senyum Pak Aryo itu seperti senyumnya Bu Hardjo, mungkin itu sebabnya semua orang di sini, terutama karyawan lama, terbiasa dengan dengan sikap Pak Aryo yang nampak sinis.

Pak Aryo tidak menyinggung sedikitpun soal pengobatannya di Singapore padahal itulah salah satu berita yang kami tunggu-tunggu.

Jangan-jangan tidak berhasil, ingatan yang membuat hatiku terasa perih. Betapa kejamnya takdir, guman hatiku, sambil mengusap-ngusap pelipis yang tiba-tiba berdenyut. Agak mengherankan, setiap memikirkan Pak Aryo ada saja bagian tubuhku yang tiba-tiba sakit, entah sakit kepala, sakit perut sampai mual, atau tiba-tiba lemas.

"Ayu kenapa?"

Suara Pak Aryo repleks membuat aku mengangkat kepala, kurasakan semua mata menatapku.

"Hanya pusing Pak, mabuk perjalanan sepertinya." Kemudian kusadari betapa bodohnya jawaban itu, bagaimana bisa aku mabuk perjalanan, setiap hari pulang pergi kantor biasanya baik-baik saja.

"Ayu kayaknya ngelindur," celetuk Pak Hendri yang membuat seisi ruangan tertawa.

Untuk menutupi rasa malu, aku  tersenyum sebelum buru-buru meminta ijin ke toilet. Sejak percakapan dengan Bu Hardjo mengenai perjodohan Pak Aryo, suasana hatiku buruk dan ternyata berpengaruh pada perubahan sikap, jadi tidak fokus, teledor, melamun, dan semangat kerja menurun. Mungkin ini yang orang bilang, jatuh cinta membuat orang bisa bertingkah bodoh. Dan aku mengalaminya.

Aku mencuci muka, melapnya dengan tisu dan merapikan make up. Sejenak menatap bayanganku sendiri di cermin. Kulit kecoklatan, istilah kerennya eksotis, hidungku tidak bisa dibilang mancung tapi tidak pesek, proporsional. Mas Angga pernah memujiku, katanya aku manis dan ayu, khas gadis jawa. Muti dan Ibu pernah bilang aku cantik. Tapi tentu pujian ibu dan Muti tidak bisa dikatagorikan pujian yang objektif. Yang pasti aku tidak secantik Lita. Aku menghela nafas lalu beranjak dan kembali ke ruang meeting yang ternyata sudah kosong, tinggal Pak Aryo yang sedang menekuri laptopnya. Dia mengangkat kepalanya begitu aku datang.

"Maaf Pak," ujarku dengan malu dan perasaan tidak enak. Dalam hati aku meruntuki kebodohan yang kulakukan untuk kedua kalinya hari ini.

"Iya nggak apa-apa. Yu kalau kamu tidak enak badan ijin pulang cepat nggak apa-apa kok atau bisa mengambil cuti besok," ujar Pak Aryo dengan nada penuh pengertian.

Ya sepertinya aku butuh cuti, kenapa tidak kepikiran. Kepalaku burn out karena banyak pikiran, bukan hanya soal pekerjaan tapi hati, jadi memang perlu jeda. Aku jadi teringat rencanaku dengan Rara dulu, liburan bersama ke Bandung. Sepertinya aku harus menghubungi Rara untuk mengeksekusi rencana ini. Aku juga perlu mencurahkan semua keluh kesah pada Rara agar hati plong dan tentu saja minta pendapatnya soal perasaanku pada Pak Aryo, ini agak memalukan sebenarnya, mengakui pada Rara kalau aku menaruh perasaan pada Pak Aryo.

"Iya Pak." Aku menutup laptop dan membawanya dalam dekapan.

"Oh ya Yu, terima kasih ya selama saya tidak ada, semua pekerjaan selesai sesuai planning." Pak Aryo tersenyum dan membuat hatiku bergetar tak karuan sayangnya tidak disertai rasa bahagia. Sungguh bukan percakapan basa-basi yang aku harapkan setelah dua bulan tidak bertemu langsung dengan Pak Aryo. Lalu apa yang aku harapkan? Mungkin mendengar cerita Pak Aryo tentang pengobatannya di Singapore.

"Iya Pak." Aku pamit meninggalkan ruangan. Aku benci dengan kebaperanku sendiri, benci menyadari bertepuk sebelah tangan. Setelah meletakkan laptop di meja aku memutuskan ke pantri untuk menyeduh satu sachet kopi susu, berharap manisnya kopi bisa mengimbangi pahitnya suasana hatiku saat ini. Aku juga merasa butuh semangkuk bakso pedas untuk menenangkan suasana hati, aku melirik jam tangan, baru jam setengah 10, jam istirahat masih dua setengah jam lagi, aku mendesah.

Complicated BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang