Bab 22

634 76 6
                                    

Jangan ragu kalau mau vote atau komen ya hehehe

Sejak makan siang dalam perjalanan ke Klaten Pak Aryo jadi ramah padaku. Dia akan membalas senyumku walaupun terlihat tidak ikhlas, sekedar basa-basi. Sikapnya tidak seketus sebelumnya. Kalau pekerjaanku ada yang salah dia mengoreksi tanpa menampakkan wajah merenggut atau decakan kesal. Dugaanku Pak Aryo takut aku pindah kerja ke Jakarta sedangkan posisiku di sini walaupun staf administrasi lumayan penting. Aku sudah pandai mengolah data statistik, paham beberapa software statistik, keterampilan yang aku dapat dari kursus. Pak Aryo mengandalkan aku untuk membuat presentasi dan mempresentasikannya.

Hubunganku dan Pak Aryo yang membaik ternyata berpengaruh pada kecepatan bangun pagi. Aku jadi bisa bangun pagi sesuai alarm, tidak perlu dibangunkan Ibu. Berangkat kerja lebih semangat. Mengikuti meeting mingguan dengan antusias, tidak lagi duduk paling ujung untuk menghindari tatapan Pak Aryo. Dan pagi ini, tidak biasanya aku bertemu Pak Aryo di parkiran, sepertinya karena aku datang kepagian. Jam masuk kantor 7.30 dan pulang 16.30 dan Pak Aryo tidak pernah datang lebih dari jam 7 dan selalu pulang di atas jam 17.00.

"Selamat pagi, Pak," aku menyapanya lebih dulu.

"Pagi Yu." Pak Aryo tersenyum tipis.

Kami berjalan bersisian. Dipangkuannya kulihat ada tas laptop dan tas bekal makan. Tangannya memijit-mijit tombol di lengan kursi rodanya agar kursi rodanya bisa bergerak sesuai arah. Pak Aryo mengenakan kemeja kotak-kotak lengan panjang yang digulung hingga siku. Rambut kelimisnya menguarkan wangi shampoo. Samar-samar aku bisa mencium wangi parfumnya. Dengan kondisinya duduk di kursi roda pasti Pak Aryo perlu effort lebih tampil rapih dan datang lebih pagi ke kantor, butuh disiplin tinggi, tidak heran menjelang sore wajah Pak Aryo selalu nampak letih. Ya ampun kenapa aku sedetail itu memikirkannya? Aku buru-buru menghentikan lamunanku.

"Berapa jam perjalanan dari rumah ke kantornya?"

"Sekitar 25 menit."

"Jauh juga ya."

"Kalau sudah biasa nggak terasa sih Pak." Aku terbiasa kemana-mana naik motor jadi perjalanan 25 menit tidak terasa lama dan jauh.

"Nggak ngebut kan Yu?"

"Nggak Pak malah saya takut kalau ngebut." Aku teringat cerita Pak Rahman tentang kegemaran Pak Aryo naik motor, dulu.

"Iya nggak usah ngebut, lebih baik datang telat ke kantor daripada ngebut."

"Iya Pak." Kalau diingat-ingat selama 7 bulan bekerja di sini, ini kedua kalinya aku ngobrol hal remeh temeh dengan Pak Aryo, yang pertama tentu saja saat kami makan siang bersama, rasanya lega dan menyenangkan melihat Pak Aryo tersenyum lepas dengan mata berbinar.

***

Aku menatap dengan takjub kain batik dengan motif bunga dan daun yang jalin menjalin berwarna krem dengan dasar berwarna putih dan kelir merah bata.

"Bagus banget Yu. Beli di mana?" tanya Ibu, tangannya terjulur meraba kain batik yang masih terlipat rapih di tanganku.

"Dikasih teman Bu." Lebih tepatnya bosku, Pak Aryo. Kain batik yang diberikan untuk dipakai besok ke undangan Bosnya Pak Andre yang menikahkan anaknya, katanya sekalian untuk mempromosikan batik buatan perusahaan kami.

"Pasti teman spesial kalau ngasihnya sebagus ini. Batik mahal ini Mba," tangan Muti ikut terjulur meraba kain batik.

"Besok mau dipake ke undangan, atasan yang cocok apa ya selain kebaya?" Aku mengabaikan komentar Muti.

"Wah jangan-jangan batik couple an nih," Muti memasang ekspresi muka pura-pura tercengang.

"Nggaklah, ini dipakai sekalian untuk promosi jualan."

Complicated BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang