Bab 29

310 44 4
                                    

Terima kasih yang masih setia membaca cerita ini....

Ada tiga alasan kenapa aku tidak bisa menolak permintaan tolong Bu Hardjo. Pertama, sebaik bentuk terima kasih karena aku bekerja di perusahaannya dengan gaji di atas UMR padahal fresh graduate dan minim pengalaman, jadi mengabulkan permintaan tolong Bu Hardjo semacam caraku membalas budi. Kedua,  kasian, karena mungkin hanya kepadaku Bu Hardjo minta tolong karena kedua anaknya di luar kota, kerabatnya mungkin tidak bisa dimintai tolong. Ketiga, tidak punya alasan penting untuk menolaknya karena saat akhir pekan aku memang tidak punya kegiatan khusus kecuali janji bertemu Rara. Nasib jomlowati.

Jadi ketika Bu Hardjo memintaku mengantarnya ke Surakarta untuk menghadiri acara pernikahan saudara dari Pak Hardjo, aku tidak menolak walaupun, ya, ada rasa tidak suka, teringat tentang kata pengabdian yang pernah aku pikirkan. Bu Hardjo memintaku datang ke rumahnya yang di Yogya karena katanya dia sudah di rumah Yogya sejak seminggu yang lalu, setelah kontrol rutin Pak Hardjo di sebuah Rumah Sakit.

Pak Aryo yang tengah duduk di teras sempat terkejut melihat kedatanganku. Dia tidak mengatakan apa-apa tapi aku bisa melihat keterkejut di wajah dan matanya selama beberapa detik sebelum bertanya,"Diminta Ibu datang ya?"

"Iya Pak, katanya Pak Rahman ijin cuti."

Sepertinya Pak Aryo akan ikut juga ke undangan karena dia mengenakan kemeja batik, rambutnya yang kelimis disisir rapih, sepatu pantopelnya mengkilat. Dan tentu saja dia terlihat tampan. Aku buru-buru mengusir pikiran itu, bagaimanapun aku harus mengendalikan perasaan.

Aku juga mengenakan pakaian rapih sesuai saran Bu Hardjo, baju ke undangan, tapi karena tugasku sebagai supir jadi aku mengenakan pakaian simple, setelan celana panjang dan atasan batik dengan model kebaya tutu yang panjangnya hingga paha. Aku juga mengikat rambutku agar praktis.

"Maaf ya Yu jadi merepotkan," ujar Pak Aryo lalu dia menyilahkan aku duduk.

"Nggak apa-apa Pak, saya juga nggak ada acara." Tapi perkataanku sepertinya tidak memuaskan Pak Aryo, terlihat dari raut wajahnya yang tidak berubah, menapakkan rasa tidak enak hati, dengan garis bibir tertarik ke bawah dan kening sedikit berkerut.

Tak lama terdengar suara langkah dari arah rumah yang aku kuduga Bu Hardjo. Tebakanku tidak salah.

"Yu, maaf ya ngerepotin," Bu Hardjo langsung menyalamiku dan mengusap-ngusap pundakku sambil tersenyum ramah. Kadang masih membuat aku merasa wow menyadari kenyataan Bu Hardjo sebaik ini. Tidak ada lagi kerling mata jutek, bibir yang sedikit merenggut menandakan ketidaksukaan. Sepertinya ujian hidup yang menimpa suami dan anaknya, merubahnya.

Bu Hardjo mengatakan Pak Hardjo tidak jadi ikut karena kondisi kesehatannya sedang turun padahal rencananya ikut serta.

Aku membantu Pak Aryo masuk ke kendaraan, Bu Hardjo duduk di depan denganku. Dari kaca spion dalam mobil aku melihat ekspresi wajah Pak Aryo belum berubah, sepertinya dia tidak suka jika aku yang menjadi supir pada perjalanan ini, entah apa sebabnya. Mungkin dia tidak enak hati karena aku direpotkan Bu Hardjo. Tak lama kulihat Pak Aryo membuka laptopnya. Sepertinya tidak ada hari tanpa memikirkan pekerjaan bagi Pak Aryo, karena nggak mungkin kan Pak Aryo buka laptop untuk nonton drakor? Pak Aryo sepertinya bukan tipe lelaki penyuka drakor, itu terlihat dari buku yang suka dibacanya.

Bu Hardjo tidak banyak bercerita sepanjang perjalanan, dia hanya sekali mengeluhkan penyesalannya karena Pak Hardjo tidak bisa ikut padahal ini adalah acara keluarga besar Pak Hardjo. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam kami sampai di Surakarta, tepatnya sebuah gedung di mana pernikahan diadakan.

Aku berjalan di sisi Pak Aryo sesekali membantu mendorong kursi rodanya, Bu hardjo berjalan di depan. Suara gamelan langsung menyambut pendengaran kami begitu memasuki gedung. Seorang among tamu setengah baya langsung menyambut Bu Hardjo dan mengantar kami bersalaman ke pelaminan lalu mempersilahkan kami duduk di tempat khusus keluarga mempelai. Terdapat beberapa meja bundar, setiap meja dikelilingi empat kursi. Di salah satu sisinya ada meja panjang berisi hidangan makanan. Sudah nampak beberapa orang di sana. Mereka langsung menyambut dan menyalami Bu Hardjo sambil berbasa-basi ini itu. Bu Hardjo mengenalkan aku sebagai pegawai kepercayaannya sambil menggandeng bahuku. Aku menggaguk dengan perasaan canggung sambil menyalami mereka.

Seorang lelaki setengah baya duduk di samping Pak Aryo, menanyakan kabar, nampak berusaha mengakrabkan diri, membuka cerita masa kecil Pak Aryo. Bu Hardjo berbincang-bincang dengan salah satu kerabatnya, seorang perempuan yang kutaksir usianya sebaya Bu Hardjo. Aku mencoba mengatasi kecanggungan dengan memandang sekeliling, memperhatikan dekorasi ruangan dan pelaminan yang didominasi bunga segar aneka warna, para tamu yang mengantri makanan, mengobrol, atau yang diam saja. Memperhatikan pakaian para tamu undangan. Memperhatikan tamu undangan yang datang dengan pasangannya, entah pacar atau suami/istrinya.

"Yo, ini lho putrinya Palik Joko, Ratih."

Percakapan yang seketika membuat aku menoleh, Bu Hardjo menggandeng seorang perempuan. Perempuan itu tersenyum ketika bersalaman dengan Pak Aryo, lesung di pipinya menambah manis paras wajahnya. Suaranya terdengar renyah dengan mata berbinar ketika menyebutkan namanya. Jenis perempuan yang cocok untuk lelaki serius dan irit bicara seperti Pak Aryo. Kulitnya sawo matang tapi nampak halus dan terawat, hidungnya bangir, tingginya sama denganku tapi tubuhnya berisi. Dia mengenakan kebaya berwarna krem dengan bawahan kain batik bermotif sidomukti yang bermakna kemulian dan atau kesejahteraan. Dia nampak modis.

Aku buru-buru memalingkan wajah lalu mengeluarkan ponsel, menyibukkan diri dengan membaca-baca pesan wa tapi pendengaranku fokus pada apa yang dipercakapkan Bu Hardjo yang mengatakan jika Ratih bekerja di sebuah rumah sakit, mengingatkan Pak Aryo jika keluarga mereka dulu pernah liburan bersama. Tiba-tiba saja aku merasa kegerahan, tengkukku terasa panas, hati mulai resah dan mendadak lapar. Harusnya aku bisa menduga jika acara ini bukan hanya menghadiri undangan tapi mempertemukan Pak Aryo dan calonnya.

"Yu, kita makan dulu yuk," tiba-tiba Bu Hardjo sudah ada di sampingku, menarik tanganku sambil menunjuk meja prasmanan. Aku mengikuti langkah Bu Hardjo mengambil makanan di meja prasmanan lalu duduk di kursi di meja lain, bukan meja yang tadi kami tempati. Meja yang kami tempati tadi kini hanya ada Pak Aryo dan perempuan bernama Ratih. Aku berusaha fokus pada makanan di piring, menahan diri untuk tidak menoleh.

Aku merasa bodoh karena membiarkan rasa itu tumbuh malah sempat berangan-angan. Padahal jelas-jelas Pak Aryo tidak pernah menunjukkan  ketertarikan padaku. Percakapan kami di luar jam kantor tidak ada kemajuan, penuh basa-basi dan kehati-hatian. Aku hati-hati karena bagaimanapun Pak Aryo bosku,  tidak mau salah bicara. Pak Aryo seperti menahan diri untuk tidak banyak bicara.

"Ibu harap mereka berdua cocok. Ratih itu perawat jadi pasti bisa memahami kebutuhan Aryo dan bisa membantu Aryo," ujar Bu Hardjo tanpa percakapan pembukaan, seperti tahu keingintahuanku.

"Iya Bu semoga cocok." Aku hanya menganguk sambil tersenyum saat bersamaan kurasakan mata memanas. Aku meruntuki diriku sendiri yang cengeng.



Complicated BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang