Bab 17

331 38 2
                                    

Hai hai ada revisian ya, ada bab yang dihilangkan, jadi ini bab baru ya....


Rencanaku untuk menikmati perjalanan dari Yogya ke Semarang dengan santai, duduk di kursi depan samping Pak Rahman agar benar-benar bisa menikmati perjalanan gagal karena ternyata Pak Aryo ikut. Harusnya aku bisa menebak waktu Pak Hendri bilang mereka akan bertemu crazy rich Semarang, seorang pengusaha properti.

Pak Hendri duduk di kursi depan di samping Pak Rahman, katanya dia suka pusing kalau tidak duduk di depan. Pak Aryo duduk di kursi tengah dan aku di kursi paling belakang. Ok, dengan cepat aku merencanakan rencana B, ngemil pelan-pelan sambil nonton drakor di ponsel lalu tidur karena semalam aku begadang membereskan revisian kedua dari Pak Aryo. Rencanaku gagal karena Pak Aryo mengirimi email berisi laporan bulanan dari gudang di Klaten untuk diperiksa sebelum direkap ke laporan keuangan pertengahan tahun.

Pak Aryo benar-benar memperkerjakanku dengan seefisien mungkin tidak mau rugi karena menggajiku cukup besar. Pak Aryo tahu aku tidak ada pekerjaan selama perjalanan ini. Dari celah belakang kursi kulihat Pak Aryo sibuk dengan laptopnya. Sepertinya yang paling menikmati perjalanan adalah Pak Hendri, terlihat dari ekspresi wajahnya, sesekali terdengar obrolannya dengan Pak Rahman diselingi tawa. Sungguh aku iri, andai tidak ada Pak Aryo tanpa sungkan aku akan bergabung dengan obrolan Pak Hendri dan Pak Rahman.

Sekitar pukul 11 kami sampai di salah satu hotel jalan Simpang Lima Semarang. Ini pertama kalinya aku menginap di hotel semewah ini, rasanya canggung. Kami menitipkan barang bawaan di resepsionis karena baru bisa cek in jam satu siang. Sambil menunggu cek in kami makan siang di restoran hotel. Berada satu meja dengan Pak Aryo membuatku kikuk. Ekspresi serius Pak Aryo membuat suasana terasa formal. Kami memilih menu. Melihat harganya membuatku shock, untunglah kantor yang membayar kalau tidak sepertinya aku memilih segelas lemon tea dan nasi goreng, menu dengan harga termurah.

"Kalau goal kita membuka berapa unit Pak?" Pak Hendri membuka percakapan.

"Satu tower 50 unit."

Kami akan bertemu dengan seorang crazy rich Semarang yang berencana membangun sebuah apartemen dan perusahaan kami mengajukan proprosal sebagai kontraktornya. Pembangunan sudah termasuk desain. Aku diam menyimak, segan untuk menimbrung percakapan, bicara hanya jika diminta pendapat. Aku takut salah bicara. Kalau mengobrol dengan  Pak Hendri  masih berani, tidak takut salah dan tidak malu terlihat tidak tahu apa-apa. Tapi dengan Pak Aryo? Ehm aku memilih diam.

"Selamat siang."

Aku menoleh mendengar suara yang rasanya familiar, Pak Andre menarik kursi di sebelahku, sedikit membungkukkan punggung untuk bersalaman dengan Pak Aryo, Pak Hendri dan aku sebelum duduk.

"Maaf terlambat."

"Belum telat kok, ini masih jam makan siang. Pesan makan dulu Dre."

"Iya Pak. Jam berapa sampai sini Pak?"

"Sekitar 15 menit yang lalu."

Aku menduga Pak Andre kontraktor rekanan perusahaan Pak Aryo.

"Apa kabar Yu?" tanya Pak Andre yang ternyata masih mengingat namaku.

"Baik Pak."

"Jangan panggil Pak, kesannya  tua banget. Bisa menurunkan pasaran kalau didengar gadis," kata Pak Andre sambail mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan jenaka. Kutaksir usia Pak Andre tidak jauh berbeda dengan Pak Aryo, bahkan mungkin seumuran. Berbeda dengan Pak Aryo yang pembawaannya serius, Pak Andre santai, ramah dan mudah akrab.

"Nah kalau Pak Hendri cocok dipanggil Pak, atau bahkan Opa iya kan Pak. Pak Aryo juga cocok."

Pak Aryo hanya menanggapi dengan senyum tipis tanpa mengangkat pandangannya dari makanan yang tengah dinikmatinya.

Complicated BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang