Bab 15

366 43 2
                                    


Hari Sabtu pasti tiba, kalimat itu sudah seperti matra, aku lantunkan dalam hati dari Senin sampai Jumat, terutama saat pekerjaan menumpuk dan bertemu Pak Aryo dengan ekspresi yang seperti menyimpan dendam padaku. Walaupun akan kembali bertemu Senin dan kembali menerima setumpuk tugas dari Pak Aryo, bersiap menghadapi decak kekesalan, tatapan kesal dan sikap ketus Pak Aryo, setidaknya pada hari Sabtu dan Minggu aku bisa tenang. Melepas penat dengan nonton drakor, aku sudah memiliki kuota jadi menginstal aplikasi menonton berlangganan. Karena Rara jomblo, sementara aku LDR, tidak jarang kami menghabiskan akhir pekan bersama dengan nonton drakor atau jajan. Tapi minggu ini kami tidak ada janji bertemu karena Rara sibuk mempersiapkan muridnya untuk ikut OSN Sains.

"Yu bangun! Yu bangun! Sholat subuh," Ibu mengguncang-guncang tubuhku.

"Aku lagi nggak sholat Bu," kataku sambil menarik selimut menutupi kepala. Ini hari Sabtu dan aku sedang tidak sholat jadi aku bisa tidur sampai siang. Aku perlu istirahat, pekerjaanku bukan hanya menguras fisik juga mental.

"Ini Bu Hardjo telepon," Ibu menarik selimut, tangan lainnya menyodorkan ponsel ke mukaku. Mau tidak mau aku membuka mata, kulihat di layar telepon nama Bu Hardjo tertera di sana."Dari tadi telepon berbunyi." Ibu meletakkan ponsel di samping kepalaku.

Aku mematikannya dan kembali menarik selimut.

"Kok dimatikan Yu, bagaimana kalau penting." Rupanya Ibu masih ada di sini.

"Kalau penting biasanya menelpon lagi Bu. Ini hari Sabtu, libur kerja."

Baru saja aku akan memejamkan mata, telepon kembali berdering. Kulihat Ibu mengawasiku memastikan aku mengangkat telepon dari Bu Hardjo.

"Assalamualaikum. Yu, nggak ada acarakan pagi ini? Bisa antar Pak Aryo ke rumah sakit ya untuk terapi dan kontrol, Pak Rahman sakit."

Aku memang tidak ada acara hari ini makanya memutuskan bangun siang. Tapi mengantar Pak Aryo ke rumah sakit? Apa aku tidak salah dengar?

"Waalaikumsalam. Maaf Bu, maksudnya bagaimana?" tanyaku untuk memperjelas permintaan Bu Hardjo.

"Pak Aryo harus kontrol ke rumah sakit, Pak Rahman tidak bisa mengantar karena sedang demam. Ibu tidak bisa mengantar karena jagain Bapak. Minta tolong setirin. Kamu bisa ya?"

Membayangkan wajah Pak Aryo dengan kening berkerut dan bibir merenggut kesal, membuat perutku mulas. Aku ingin menolak permintaan Bu Hardjo tapi tidak tahu caranya terlebih setelah dia berbaik hati memberiku pekerjaan dengan gaji lebih dari lumayan dan kini sikapnya baik.

"Bisa ya Yu, ditunggu secepatnya, dokternya praktik jam 9." 

Belum sempat aku mengiakan terdengar suara telepon ditutup.

Aku termangu di bibir tempat tidur sebelum beranjak dengan langkah berat menuju kamar mandi.

"Ada apa?" tanya Ibu penuh rasa ingin tahu.

"Diminta ke rumah Bu Hardjo." Nggak mungkin kan aku cerita sama Ibu kalau aku disuruh Bu Hardjo mengantar anaknya ke rumah sakit, bisa-bisa Ibu menduga hal lain.

Jam 8 aku sampai di rumah Bu Hardjo. Kulihat alphard hitam Pak Aryo terparkir di sana. Mbok Anah membukakan pintu, menyambutku dengan senyum sumringah.

"Apa kabar Ibu?" tanyanya.

"Alhamdulillah baik."

"Sudah lama simbok nggak ketemu Ibumu. Tunggu sebentar, si Mbok panggilkan Mas Aryo."

"Ibu Hardjonya ada Mbok?"

"Ibu lebih sering di rumah Klaten sekarang, Bapaknya maunya tinggal di sana, lebih adem." Aku mengangguk. Jadi tadi Bu Hardjo menelpon dari Klaten. Dari Bapak aku tahu Bu Hardjo memiliki beberapa rumah, selain rumah yang ditinggalinya di Yogya sini dan beberapa penginapan. Kalau orang kaya tuh memang nggak tanggung-tanggung ya, aku sih nggak minta kaya tapi cukup, cukup buat beli rumah, kendaraan, jalan-jalan dan memenuhi kebutuhan hidup termasuk ibadah. Cara mencapainya tentu saja kerja cerdas, kalau berjodoh sama orang kaya, itu sih bonus. Kisah cinta ala Cinderella, bertemu pangeran tampan, kaya raya, dan hidup happy ever after hanya ada dalam dongeng.

Complicated BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang