Bab 25

334 42 2
                                    


Sudah dua minggu terhitung sejak Pak Aryo ke Singapura dan belum ada kabar beritanya. Aku menajamkan pendengaran saat Bu Hardjo ke sini untuk mengecek pekerjaan kami tapi tidak satupun kalimat yang meluncur dari mulutnya tentang Pak Aryo. Keadaan yang membuat aku tidak tahan ingin menghubungi, sekedar menanyakan kabar. Berkali-kali  mencoba menulis pesan tapi kemudian aku hapus lagi.

Terasa ada yang hilang berhari-hari tidak ada telepon yang berkata,"Yu ke ruangan saya ya." Aku suka melihat binar mata Pak Aryo saat bicara, caranya mengerutkan kening saat memikirkan sesuatu, caranya tersenyum tipis – saat mendengar guyonan Pak Andre atau Pak Hendri .

Hari ini aku memberanikan diri mengirim pesan, diiringi jantung yang berdebar cepat karena rasa sungkan dan malu.

Assalamualaikum

Selamat pagi Pak

Bagaimana kabar Pak? Semoga operasinya berjalan lancar.

Satu menit, dua menit, satu jam, dua jam hingga seharian tidak ada balasan sehingga aku memutuskan untuk menghapus pesan itu. Kemudian tanpa kuduga, esok harinya aku menerima pesan dari Pak Aryo

Waalaikumsalam

Kabar baik

         Bagaimana kabar kantor Yu?

       Minggu depan saya akan gabung di meeting secara online

Kantor aman Pak

        Terima kasih ya Yu.

Sama-sama

Percakapan selesai dan aku masih menatap layar ponsel. Ada rasa kecewa karena percakapan ini kental sekali dengan nuansa basa-basi. Memang seperti apa percakapan yang aku harapkan? Entahlah, mungkin semacam percakapan panjang, Pak Aryo menceritakan keadaannya saat ini. Tapi jika dipikir-pikir untuk apa Pak Aryo menceritakannya padaku yang bukan siapa-siapa.

Sejujurnya, aku mulai takut dengan perasaanku sendiri pada Pak Aryo yang rasanya mulai berlebihan. Rasanya sudah diluar batas dari rasa simpati. Ya selama ini aku mengklaim yang kurasakan pada Pak Aryo adalah sebentuk simpati tapi seiring bertambahnya pertemuan kami di luar jam kantor, seiring meluasnya obrolan yang tidak hanya urusan kantor, aku mulai merasakan hal lain yang tidak mau aku akui.

Lalu aku akan membandingkan bagaimana awalnya dulu aku dan Mas Angga dekat sampai akhirnya menjadi kekasih. Tanpa rasa sungkan dan canggung, mungkin karena tidak ada batas hierarki antara Mas Angga dan aku, sebaliknya dengan Pak Aryo. Sebentar, sebentar, perbedaan lain Mas Angga juga menyukaiku jadi dia maju lebih dulu. Sedangkan posisiku saat ini? Ehm, kemungkinan besar aku bertepuk sebelah tangan. Tidak mungkin Pak Aryo menyukaiku, aku bukan levelnya. Menyedihkan, aku tersenyum kecut, menertawai diri sendiri. Andai merubah perasaan semudah menekan tombol on off, tinggal menekan, aku pasti sudah melakukannya.

Kumasukkan kembali ponsel ke dalam saku lalu mengaduk-ngaduk kopi agar segera dingin. Menyikirkan pikiran tentang Pak Aryo dengan membayangkan adegan drakor yang kutonton tadi malam.

"Hai Yu." Aku menoleh seketika, kudapati Pak Andre diambang pintu dengan senyum lebarnya. Dengan langkah panjang dia mendekati kabinet mengambil gelas dan mengisinya dengan air mineral lalu menarik kursi di hadapanku.

"Kapan datang Pak?"

"Baru datang. Mau ketemu Pak Hendri," jawab Pak Andre setelah meneguk airnya. "Bagaimana kabar Pak Aryo.?"

"Baik. Eh maksud saya mungkin baik. Harusnya Pak Andre yang lebih tahu."

"Pak Aryo baru dua hari lalu keluar dari Rumah Sakit sekarang sedang tahap recovery dan kontrol rutin."

Complicated BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang