Semoga masih betah baca cerita ini ya....
Boleh vote dan komennya.
Aku membaca ulang pesan yang dikirimkan Pak Aryo. Pak Aryo meminta tolong mengantarnya ke Rumah Sakit untuk kontrol dokter dan terapi karena Pak Rahman ada keperluan keluarga yang mendadak.
Aku tidak keberatan karena sebagai jomblowati tidak ada acara khusus di hari Sabtu atau Minggu kecuali ada janji ketemu Rara. Tapi teringat waktu Pak Aryo marah-marah karena aku mengantarnya terapi.
Tak lama masuk lagi pesan dari Pak Aryo
Kalau tidak bisa tidak apa-apa Yu
Bisa Pak
Aku menjawab cepat. Membayangkan jika di posisi Pak Aryo, tidak ada saudara atau teman dekat yang bisa dimintai tolong, rasanya bukan hanya sedih tapi putus asa. Bu Hardjo mengurus suaminya yang terkena stroke. Kedua saudara kandung Pak Aryo di luar kota dan sibuk mengurus keluarganya masing-masing. Di usianya, lingkar pertemanan makin mengerucut malah mungkin tidak ada. Menurutku mental Pak Aryo sangat kuat, dengan support system yang terbatas Pak Aryo bisa tegar, mandiri dan sukses memimpin perusahaannya. Pendapat Rara ada benarnya waktu mengatakan orang seperti Pak Aryo rentan stres tapi Pak Aryo bisa mengendalikan stresnya. Aku mungkin pernah jadi sasaran pelampiasan stresnya tapi karena kesalahanku yang kurang kompeten. Semakin lama memikirkan Pak Aryo aku semakin mengaguminya.
Di sinilah sekarang aku berada, berjalan di koridor rumah sakit setelah memarkirkan kendaraan dan menurunkan Pak Aryo di lobi seperti permintaannya. Sampai di ruang pendaftaran aku menghampiri Pak Aryo, menyapanya sebelum mencari tempat duduk yang tidak jauh darinya. Aku membuka ponsel, siapa tahu Pak Aryo mengirimkan pesan seperti dulu, menyuruhku menunggu di mall atau café tapi tidak ada pesan baru jadi menunggu sampai Pak Aryo mendapat nomor antrian dokter.
Kursi yang kududuki di deretan kursi belakang Pak Aryo jadi bisa leluasa memperhatikannya. Pak Aryo tengah membaca buku. Satu lagi kesamaannya dengan Mas Angga, jika menunggu sesuatu sambil membaca buku. Di mataku lelaki seksi itu lelaki yang sedang membaca buku. Begitu Pak Aryo sudah mendapat nomor antrian dokter, aku menghampiri dan menawarkan membantu mendorong kursi rodanya. Dia sempat menolak tapi aku mengabaikan penolakannya terlebih saat akan masuk lift Pak Aryo agak kesulitan.
Poliklinik tempat pemeriksaan Pak Aryo terletak di lantai 3. Kami duduk di depan sebuah pintu yang bertulisan Dokter spesialis rehabilitasi medik. Dokter spesialis yang asing untukku. Selama ini aku hanya tahu dokter spesialis jantung, anak, ginekologi, dll.
Aku duduk di kursi di samping kursi roda Pak Aryo. Kami saling diam, Pak Aryo tidak lagi membaca bukunya. Sebenarnya aku ingin membuka obrolan karena rasanya aneh saja kami saling diam seperti tidak saling kenal. Tapi bingung mau berbasa-basi apa selain ada rasa sungkan dan takut salah bicara.
Sebenarnya aku ingin tahu kondisi Pak Aryo tapi mau bertanya sungkan dan khawatir membuat Pak Aryo tersinggung.
"Yu, ini antriannya agak lama, setelah dari sini saya terapi, mungkin bisa memakan waktu 1 jam lebih. Kamu bisa menunggu di coffee shop di bawah atau di mana aja nggak apa-apa." Pak Aryo memecah keheningan diantara kami.
Sejenak aku ragu, mengiakan atau menjawab menunggu di sini saja sebelum akhirnya memilih menunggu di bawah mencari makanan daripada di sini kebingungan.
"Iya Pak, kalau Bapak perlu apa-apa hubungi saya saja," kataku sebelum pamit.
Pak Aryo mengangguk, melemparkan senyum tipisnya yang ramah. "Terima kasih ya Yu."
"Sama-sama."
Aku menghabiskan waktu dengan menyusuri area rumah sakit, melihat-lihat, sebelum duduk dengan secangkir kopi di coffee shop yang ada di rumah sakit. Sesuai perkembangan jaman, banyak rumah sakit kini dilengkapi coffee shop dan restoran eksklusif, tidak sekedar kantin dan cafetaria. Aku memesan kopi dan sepotong brownies. Dari dinding pembatas kaca, aku melihat orang lalu lalang melintas, beberapa terlihat tergesa dengan wajah cemas, beberapa terlihat lemas dan kuyu dengan tatapan pasrah. Rangkaian pemeriksaan di rumah sakit tidak pernah memakan waktu sedikit, antrian pendaftaran – walaupun sudah dengan sistem online pada beberapa rumah sakit tetap mengantri offline untuk administrasi, pemeriksaan dokter, pembayaran hingga pengambilan obat, bisa memakan waktu berjam-jam, lelah dan stres. Ingatan yang membuat aku bersyukur diberi kesehatan, kalau pun sakit sekedar deman atau flu yang bisa berobat ke klinik 24 jam yang tidak perlu mengantri hingga berjam-jam. Aku jadi membayangkan kelelahan Pak Aryo.
Aku mengirim pesan pada Pak Aryo
Pak mau titip beli minuman, kopi atau makanan
Boleh Yu
Titip beli air mineral
Saya sudah di ruang tunggu pembayaran
Aku membeli sebotol air mineral dan sepotong brownies untuk Pak Aryo. Sampai di ruang tunggu pembayaran aku menjulurkan leher, mencari di mana Pak Aryo berada. Kulihat dia di sisi samping kursi tunggu.
"Pak," Aku menyapanya dan memberikan air mineral pesanannya plus brownies lalu duduk di kursi tunggu di sisinya yang kebetulan kosong.
"Apa ini?" Pak Aryo mengacungkan bungkusan kertas roti yang aku berikan.
"Brownies Pak, tadi saya coba, enak nggak terlalu manis."
"Terima kasih ya." Pak Aryo mengembangkan senyumnya.
"Sama-sama." Sepertinya aku mulai ketagihan melihat senyum Pak Aryo.
Ujung mataku diam-diam memperhatikan Pak Aryo yang tengah menggigit brownies. Aku melihat di pelipisnya ada titik-titik keringat, wajahnya terlihat lelah, sesekali nampak menggigit bibir seperti menahan sakit. Aku jadi ingat cerita Pak Rahman tentang terapi Pak Aryo yang membuatnya kesakitan. Aku merasa bersalah karena sebelumnya selalu melihat sisi buruk Pak Aryo.
Jam menunjuk di angka sebelas ketika akhirnya kami keluar dari rumah sakit.
"Yu, terima kasih banyak ya," kata Pak Aryo setelah aku membantunya masuk ke dalam kendaraan. Nada bicaranya dalam dan terasa emosional, membuat aku terharu.
"Sama-sama Pak." Aku mengangguk lalu menutup pintu. Berjalan memutar menuju pintu kemudi.
Kecanggunganku mengendarai mobil Pak Aryo sudah berkurang. Mengendarai mobil mahal itu memang terasa beda, jauh lebih nyaman, serba otomatis.
"Kita mampir makan siang dulu Yu, di dekat sini ada gudeg enak." Pak Aryo mengarahkan jalan sementara aku menyetir. Kami berhenti di sebuah restoran gudeg cukup besar dan terkenal di Yogya, Gudeg Bu Tjitro, tempatnya lapang sangat memudahkan untuk pengguna kursi roda seperti Pak Aryo. Suasana restoran agak ramai, mungkin karena weekend. Pak Aryo tidak menolak ketika aku membantu mendorong kursi rodanya.
Kami duduk di meja yang bersebelahan dengan jendela sehingga bisa leluasa melihat ke luar.
"Bapak rutin terapi dan kontrol setiap minggu ya?" tanyaku untuk memecah keheningan selagi menunggu pramusaji mengantarkan pesanan kami.
"Kadang dua minggu sekali, bagaimana kondisinya."
Aku menggangguk lalu bingung mau melanjutkan bertanya tentang perawatan kakinya khawatir Pak Aryo tidak suka, itu bisa jadi topik yang sensitif bukan?
Pak Aryo menguar rambutnya, berdecak sebelum berkata,"Sebenarnya saya capek bolak balik ke rumah sakit, jenuh, bosan tapi kalau tidak begini tidak ada kemajuan. Kadang rasanya mau nyerah." Ada nada getir dalam suara Pak Aryo yang membuat aku bisa membayangkan rasa putus asanya.
"Sebaiknya jangan menyerah Pak." Aku mencoba menyemangati.
Pak Aryo tersenyum lalu katanya,"Menurutmu kenapa saya tidak boleh menyerah?'
"Menyerah tanda kalah. Saya pikir Bapak bisa jadi pemenang dan kesembuhan pasti membuat Bapak lebih bahagia."
"Terima kasih," ucapnya. "Saya ada rencana ke Singapore, mencoba menjalani opsi terakhir, dengan peluang 70%. Tadinya saya tidak akan mencoba opsi ini tapi setelah dipikir-pikir kalau tidak mencoba tidak akan pernah tahu hasilnya." Pak Aryo menghela nafas.
"Peluang 70% hitungan manusia kalau Gusti Allah berhendak lain bisa saja menjadi lebih dari 70%."
"Terima kasih ya Yu, saya senang kalau disemangati seperti ini."
Aku mengangguk dan rasanya terharu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Complicated Boss
ChickLitCerita dengan genre chicklit, komedi romantis. Romantika working girls, bukan drama cinta ala CEO. Waktu selalu punya cara membuat kejutan tak terduga, terutama dalam hal melibatkan perasaan..... Saat jatuh cinta dalam diam dan diam-diam. Sayangnya...