Bab 6

410 47 5
                                    


Flash back

Keputusanku akhirnya menerima tawaran Bu Hardjo untuk bekerja di perusahaannya berawal dari percakapan dengan Ibu di suatu malam.

"Si Muti katanya pengen kuliah di Yogya," Ibu membuka percakapan setelah meletakkan dua cangkir teh yang masih mengepulkan uap hangat di meja, lalu duduk di sampingku. Ibu tahu aku suka teh hangat jadi Ibu suka inisiatif membuatkan aku teh hangat saat aku sedang duduk santai sambil membuka ponsel atau menyiapkan bahan mengajar di kursi ruang tengah.

"Ya bagus Bu, tapi kalau bisa negeri. Biar gampang cari beasiswa." Aku meraih cangkir teh dan menyesapnya berlahan. Kami tinggal di pinggiran kota Yogya, impian setiap pelajar di kampungku, termasuk aku dulu, kuliah di Yogya.

"Katanya perlu bimbel dulu Yu, untuk persiapannya apa itu namanya, tbk atau ubk."

"UTBK Bu. Iya memang baiknya bimbel, Ayu jugakan dulu ikut bimbel."

"Tapi Yu, waktu itu kan masih ada Bapakmu." Iya waktu itu Bapak masih ada. Bapak paling semangat mendorongku untuk kuliah tapi sayangnya, Bapak meninggal setelah aku ujian UTBK. Bapak terkena serangan jantung dan tidak sempat tertolong. Ingatan itu membuat hatiku sesak dan mataku menghangat. Aku mengejap-ngejapkan mata, menahan agar air mata tidak jatuh.

"Nanti Ayu bayarin biaya bimbelnya." Saat mengucapkan itu sebenarnya hatiku ketar-ketir. Aku sudah menduga kisaran biaya bimbel.

"Segini Yu, biayanya," Ibu menyodorkan lembaran promo bimbel. "Memang kamu ada uangnya?"

"Ada." Memang ada, sejumlah itu tabunganku setelah berusaha untuk mengirit. Sebagian gajiku kuberikan pada Ibu untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sejujurnya ada perasaan tidak rela karena aku ingin membangun sebuah kamar di samping rumah agar tidak sekamar lagi dengan Muti dan jalan-jalan ke Bandung bareng Rara.

"Semoga rejeki kamu nambah ya Yu, cepat dapat jodoh yang baik juga." Ibu mengusap-ngusap bahuku.

"Aamiin."

Oke masalah biaya bimbel selesai lalu bagaimana dengan biaya lainnya saat Muti kuliah nanti. Biaya UKT dan kebutuhan perkuliahan sehari-hari. Selain tentu saja kebutuhanku sendiri, memanjakan diri minimal sebulan sekali dengan kuliner, membeli buku atau merawat muka. Mukaku sebenarnya tidak bermasalah dengan jerawat, kalau ada jerawat hanya satu dua, tapi karena sekarang aku memiliki uang ya pengen donk rutin facial. Aku akan meminta Muti mengusahakan mencari beasiswa seperti yang aku lakukan saat kuliah dulu tapikan harus mempersiapkan kemungkinan terburuk.

Aku kembali mempertimbangkan tawaran Bu Hardjo sekaligus mempersiapkan diri untuk menerima kemungkinan terburuk, jika posisi yang ditawarkan Bu Hardjo sudah terisi orang lain atau Bu Hardjo menolak karena dulu aku pernah menolaknya. Aku bisa membayangkan penolakan Bu Hardjo lengkap dengan delikan mata dan sindirannya.

Aku bicara melalui telepon dengan Angga, kekasihku yang kini bekerja di Jakarta – kami dulu satu kampus - dia kakak tingkat tapi beda jurusan, untuk meminta pendapatnya.

"Aku sih terserah kamu, kalau mengejar penghasilan, ya di tempat Bu Hardjo, kalau mau mengabdi, di sekolah."

"Kalau Mas Angga mendapat pilihan seperti itu mana yang dipilih."

"Pilih yang gajinya besar tapi tergantung job desk nya juga. Gaji sekian apa sesuai dengan job desk dan resikonya. Kamu bilang pekerjaannya di gudangkan? Kerjaan gudangkan paling menghitung stok. Nggak terlalu ribet tapi tanggung jawab besar kalau barang hilang. Tapi jaman sekarang ada cctv."

Sebenarnya Bu Hardjo tidak menjelaskan job desk tapi dugaanku pekerjaannya tidak jauh beda dengan almarhum Bapak yang dulunya bekerja di perusahaan Bu Hardjo. Bapak bekerja di perusahaan Bu Hardjo sejak muda, setelah lulus dari SMK, karena kejujurannya jabatan Bapak naik hingga akhirnya dipercaya jadi kepala gudang. Walaupun bertitel kepala gudang, jangan bayangkan gaji Bapak besar, karena perusahaan Bu Hardjo termasuk UMKM gajinya tidak jauh dari UMR. Ehm, mungkin sekarang usaha Bu Hardjo lebih maju makanya dia bisa menggajiku lebih tinggi.

"Menurut Mas Angga kapan sebaiknya aku mulai mencari pekerjaan di Jakarta?"

Hening sebelum akhirnya Mas Angga menjawab,"Aku tidak terlalu merekomendasikan kamu mencari pekerjaan di Jakarta. Biaya hidup tinggi, macet, transportasi mudah tapi penuh perjuangan." Iya sih aku pernah melihat bagaimana orang desak-desakan naik KRL saat jam pergi dan pulang kerja.

Tapi bukankah cepat atau lambat aku harus melaluinya jika hubungan ini akan dibawa ke arah yang serius, mungkin beberapa tahun mendatang. Aku tidak mengungkapkan pikiran itu, khawatir Mas Angga menilainya terlalu dini dan membuat hubungan ini jadi tidak nyaman.

Pada Sabtu pagi yang cerah aku ke rumah Bu Hardjo setelah membuat janji tentunya. Sejak diperjalanan jantungku sudah berdebar-debar kencang, membayangkan penolakan Bu Hardjo dengan kata-kata sindirannya. Aku menyiapkan diri untuk tetap menampakkan wajah biasa jika Bu Hardjo menolakku. Iya aku harus terlihat tidak terlalu butuh pekerjaan ini. Toh aku sudah punya rencana kedua yaitu melamar ke tempat kursus-kursus baca atau bahasa inggris untuk anak-anak, dengan jam mengajar hari Sabtu atau Minggu, saat libur mengajar di sekolah. Atau mengiklankan diri membuka les privat untuk anak SD dengan jam mengajar Sabtu. Ya walaupun matematikaku tidak sepandai Rara, sahabatku, untuk materi matematika anak SD, bisa. Matematika itu kan mumetnya saat mulai SMP dan SMA.

"Ada apa Yu," tanya Bu Hardjo begitu kami sudah bersalaman dan duduk bersisian dengan meja sebagai pembatas. Kami duduk di kursi teras depan rumah Bu Hardjo.

"Ehm mengenai lowongan kerja yang pernah Ibu tawarkan, jika masih ada saya berminat."

"Kapan kamu habis kontrak?"

"Bulan depan tanggal 2."

"Itu hari apa?"

Aku mengeluarkan ponsel, membuka penanggalan. "Hari Kamis Bu."

"Ya sudah Hari Seninnya kamu langsung masuk kerja, besok atau sebelum kamu masuk kerja, bawa surat lamarannya ke sini, titip ke Mbok Anah aja kalau Ibu nggak ada. Nanti di kantor temui Bu Mita."

"Kantor yang di sini atau Klaten Bu?"

"Yang di sini, di Klaten kan hanya Gudang. Kamu tahu kan alamatnya?"

"Iya Bu."

Aku tahu kantor Bu Hardjo yang di Yogya sini karena setiap kami ke Yogya Bapak akan menunjukkan dengan bangga.

"Terima kasih banyak Bu." Aku senang tiada terkira, sampai rasanya ingin meloncat. Kalau biasanya aku menyalami Bu Hardjo dengan menempelkan kedua telapak tangan di tangannya sambil menundukkan kepala, kali ini aku hampir mencium punggung telapak tangannya saking menunduknya. Ya sebenarnya aku ingin mencium punggung telapak tangannya sebagai tanda terima kasih tapi sungkan.

Semoga rejeki Bu Hardjo lancar dan berkah, spontan aku berdoa dalam hati. 

Complicated BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang