Terima kasih yang sudah mengikuti cerita ini. Semoga suka ....
Aku memang tidak menangis di hadapan Mas Angga, tapi setelahnya aku menangis. Mendadak mengharapkan perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta memakan waktu lebih lama, misalnya karena macet, sayangnya perjalanan dengan kereta tidak mengenal kata macet. Perjalanan terasa singkat karena air mata belum kering, rasa sesak di dada belum berkurang, kemarahan belum mereda. Begini rasanya patah hati, ternyata lebih sakit dari yang aku bayangkan. Aku melap hidung yang mendadak beringus dengan tisu, entah untuk keberapa kalinya. Pandangan mata kabur karena air mata. Sekuat tenaga menahan agar air mata itu tidak jatuh, akhirnya jatuh juga. Aku benci menyadari kenyataan ternyata secengeng ini. Menangisi sebuah cinta. Ya Tuhan, perempuan macam apa aku, kalah dengan cinta?
Arini berbaik hati meminjami aku kacamata hitamnya, begitu dia tahu sepulang dari bertemu Mas Angga aku menangis hampir sepanjang malam. "Mata kamu bengkak, Yu, keliatan orang-orang di jalan di kereta malu. Pakai kaca mataku aja, nanti kembalikan pake paket."
Mas Angga cinta pertamaku dan aku terlalu naïf dengan menganggap perjalanan kisah asmara kami baik-baik saja dan akan berlanjut ke jenjang pernikahan padahal kalau diingat-ingat Mas Angga tidak pernah membicarakan hubungan ini ke jenjang serius, contoh sederhana, dia tidak pernah mau membahas solusi untuk LDR kami. Ya, harusnya aku bisa menduga jika Mas Angga jatuh hati pada perempuan lain, pertama, dia tidak pernah berencana pulang agar kami bertemu, dia juga tidak pernah mendukungku setiap berniat mencari pekerjaan di Jakarta. Mas Angga juga tidak pernah berkata-kata mesra atau mengungkap rasa rindunya. Ternyata aku kurang peka. Terlalu ge-er. Aku membayangkan Mas Angga menertawaiku di sana. Aku menangisi hati yang patah dan kebodohanku.
Mataku memang bengkak, sudah dikompres pake es batu juga tidak berpengaruh banyak, karena tangisku belum berhenti total. Setelah jeda beberapa jam tidak nangis, aku kembali menangis. Parah, ternyata sesakit ini patah hati.
"Nanti juga rasa patah hatinya hilang Yu, kalau jatuh cinta lagi sama orang lain." Kata Arini
Masalahnya kapan aku bertemu orang yang bisa membuatku jatuh cinta dan dia jatuh cinta padaku. Yang sulitkan itu, menemukan yang saling jatuh cinta. Tapi walaupun sakit hati aku masih waras kok, tidak berpikir menyakiti diri sendiri apalagi bunuh diri. Aku ingat ada orang lebih menyayangiku dengan tulus, siapa lagi kalau bukan keluarga. Mencintai tanpa pamrih tanpa menuntut balas. Iya bayangan Ibu dan Muti yang menguatkanku.
Ibu dan Muti pasti bisa menduga apa yang terjadi jika melihat mataku sembab separah ini. Tidak mungkin kan aku menangis hingga sembab gara-gara tidak diterima bekerja di perusahaan di Jakarta.
Aku sampai di stasiun Yogyakarta jam setengah dua siang, Muti menjemput, dia tertawa begitu melihatku,"Mba, kayak wisatawan aja pake kacamata."
Aku tak menanggapi, menyerahkan satu tas ke Muti dan menjejari langkahnya menuju parkiran motor. Dengan ujung mata kulihat beberapa kali Muti melirik ke arahku. Sepertinya dia mulai menduga sebab aku mengenakan kaca mata hitam. Sepanjang perjalanan kami tidak bercakap-cakap padahal biasanya mulut Muti usil.
"Aku mandi dulu Bu, gerah," setelah bersalaman pada Ibu dan meletakkan tas di kamar, aku ke kamar mandi. Ibu dan Muti sudah melihat mataku yang sembab dan sepertinya bisa menduga penyebabnya tapi mereka sungkan untuk bertanya. Selesai mandi aku memutuskan rebahan di tempat tidur.
"Mba, mau dipijitin?" Muti duduk di bibir ranjang.
Hah sejak kapan Muti berbaik hati dengan menawarkan diri memijat. "Ya boleh deh."
"Mau pake minyak kayu putih nggak?"
"Iya pake."
Aku memposisikan diri tengkurep jadi Muti mengolesi punggungku dengan minyak kayu putih dan mulai memijiti. Mijitannya kurang bertenaga tapi ya lumayan.
"Kenapa Mba?" tanyanya.
"Nggak kenapa-napa, capek aja."
"Ada masalah sama Mas Angga ya?"
Aku tidak menjawab pertanyaan Muti. Ehm, nawarin mijitin ternyata modus, intinya Muti kepo.
"Yang sabar ya Mba, kalau jodoh nggak kemana, kalau bukan jodoh dikejarpun nggak akan dapat."
Entah kenapa perkataan Muti malah membuat aku emosi, alih-alih merasa terhibur.
Aku membalikkan badan,"Mut, udah dipijitannya, Mba mau tidur capek." Aku menarik satu bantal dan menutupkannya ke muka.
***
Kantung mataku masih bengkak gara-gara semalam menangis lagi setelah melihat status wa Angga dengan pacar barunya, hanya menampakkan tangan tapi tetap saja bikin baper. Aku benar-benar menyesal telah iseng mengintip statusnya. Untuk menjaga kewarasan akhirnya memblokir nomor Mas Angga. Aku juga menangisi kenyataan, besok harus bekerja lagi bertemu Pak Aryo yang menyebalkan, yang selalu membuatku merasa bodoh dan tidak bisa apa-apa. Selalu mengerutkan kening ketika melaporkan hasil pekerjaan, seolah-olah selalu ada kesalahan. Bayangan mengajukan surat resign dengan senyum puas menguap karena aku tidak punya nyali bekerja di Jakarta tanpa Mas Angga, tanpa orang dekat yang bisa membantu beradaptasi. Ya, aku malah berharap tidak diterima di perusahaan yang kemarin meng interview .
Begitu bangun tidur buru-buru aku mengompres mata dengan es tapi bengkaknya hanya berkurang sedikit. Tidak mungkin ke kantor mengenakan kaca mata hitam untuk menyembunyikan mata yang sembab. Ijin tidak masuk kantor tidak mungkin juga karena sudah cuti dua hari . Mungkin aku akan menjawab sakit mata jika ada yang bertanya kenapa mataku bengkak.
Hari ini aku datang ke kantor jauh lebih pagi, agar tidak berpas-pasaan dengan banyak orang, terutama saat membuat minuman di pantri. Kulihat dispenser masih dalam keadaan mati, entah Pak Diman, OB kantor lupa menyalakan atau karena aku datang terlalu pagi jadi belum dinyalakan. Sambil menunggu air panas, aku membuka pesan di wa yang belum dibuka sejak semalam.
Ada pesan dari Rara.
Yu gimana interviewnya, lancar?
Asik ni yee melepas kangen sama Angga.
Aku putus Ra
Hah
Kok bisa
Nanti deh aku cerita
Aku menutup ponsel, menitik mata yang terasa panas dengan tisu. Ternyata hatiku masih selemah ini jika menyinggung soal Mas Angga, aku meruntuki kecengenganku dalam hati.
"Kenapa nangis Yu? Dimarain Pak Aryo ya?" Dengan terkejut aku menoleh, kulihat Pak Andre berdiri di depan dispenser mengisi gelasnya.
Ya ampun saking seriusnya meratapi diri sampai tidak mendengar ada orang masuk pantri.
"Hah! Nggaklah saya baru datang."
"Oh kirain," Pak Andre tersenyum jahil. "Patah hati ya?" Pak Andre duduk di depanku dengan cangkir kopi yang mengepulkan uap panas.
"Ya gitu deh." Aku mencoba tertawa, tepatnya menertawai diri sendiri.
"Jadi benar patah hati?" Ekspresinya berubah jadi serius.
"Udah akh jangan dibahas." Aku mengibaskan lengan. "Ada meeting ya Pak?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Diskusi aja sih sama Pak Aryo."
"Oh," aku beranjak mengisi cangkirku dengan air panas lalu pamit meninggalkan pantri, sebelum Pak Andre mengajak ngobrol. Bahaya jika obrolanku dengan Pak Andre malah berakhir dengan curhat, lagi sedih begini kan butuh tempat curhat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Complicated Boss
ChickLitCerita dengan genre chicklit, komedi romantis. Romantika working girls, bukan drama cinta ala CEO. Waktu selalu punya cara membuat kejutan tak terduga, terutama dalam hal melibatkan perasaan..... Saat jatuh cinta dalam diam dan diam-diam. Sayangnya...