39. Kafka (Is it too late?)

336 37 16
                                    





"Apalagi yah kamu tuh paling nggak bisa kalau Khayla sampai kesentuh sama cowok lain. Pas di Jogja itu akhirnya kamu yang bantuin Khayla buat naik ke kuda kan? Gak cuma sekedar rendahin pijakan aja. Jelas-jelas ada pemandu nya, tapi karena pemandunya laki-laki kamu langsung kelabakan. Waktu kita camping juga kamu sok cuek pas Khayla jatuh padahal mata lirik-lirik terus eh giliran ada cowok asing mau bantuin Khayla, kamu langsung ngacir gendong Khayla. Heran tau ibun tuh, gimana bisa kamu nggak sadar sama perasaanmu sendiri." Bunda sedari dari nampak sangat menggebu-gebu menceritakan semuanya.

Gue berasa kayak lagi disidang atas hal yang gue lakukan dimasa lalu, tapi hal tersebut nggak pernah gue sadari. Sialnya semua yang Bunda katakan adalah fakta yang nggak bisa dielak.

"Apa kamu? Nggak bisa ngelak lagi kan?" Bunda berdecak kembali, beliau menantang dan sedihnya gue nggak punya pembelaan sedikitpun.

"Bun, kamu semangat banget kayaknya," sela Papi tentu saja masih terkekeh.

"Biarin, aku mau puas-puasin nyadarin nih anak," Bunda bergantian menatapi gue dan Papi dengan tampang seolah ingin menerkam. Gue tau Bunda lagi ngungkapin semua yang beliau simpan selama ini.

"Emang kalau bersikap kayak gitu artinya jatuh cinta ya bun?" Pertanyaan gue barusan nampaknya membuat Bunda semakin geram, sorot wajah Bunda sudah cukup lelah akibat menghadapi kebodohan gue.

Gue beneran nanya karena ngerasa nggak mungkin gue udah cinta sama Khayla selama itu.

"Kamu tuh kemana-mana emang selalu sama Sonya, pegangan tangan terus kayak anak ayam! Tapi kamu nggak sadar mata kamu ngelihatin Khayla terus. Bongkar aja juga isi lemari Khayla itu pasti penuh sama hadiah dari kamu."

Bunda terus melanjutkan ocehan beliau, menyuarakan fakta-fakta yang bikin gue semakin kebingungan sekaligus berusaha untuk menyadari isi hati gue sendiri.

"Yaudah, terus sekarang Kafka mesti gimana bun? Mana ada Biru lagi, sampai sekarang Khayla masih nggak mau berangkat bareng Kafka kayak dulu lagi." Gue kayaknya emang udah nggak bisa ngebantah sedikitpun perkataan Bunda. Setelah ini mungkin gue akan banyak berpikir ulang agar bisa mengetahui sejak kapan sebenernya gue suka sama Khayla.

Antara sedih, kesal dan kebingungan, perasaan gue nggak tentu arahnya kemana.

"Tuh kan giliran sekarang ada Biru, kamu pusing sendiri kan?" Bunda kembali menerjang gue dengan fakta.

"Ibun sih ngapain coba biarin Khayla berangkat sekolah bareng Biru, mana si Biru pernah dibolehin lagi masuk ke kamarnya nya. Untung waktu itu Kafka gercep nyusulin mereka."

"Lah kok nyalahin bunda? Siapa suruh belagak sok jahat nurunin Khayla dipinggir jalan gitu?"

Gue menunduk, nggak bisa berkata apapun kalau kejadian itu kembali dibahas. Rasa bersalah gue bisa tumbuh semakin bekali lipat.

"Kaf, terkadang apa yang kamu lihat pakai mata kamu bisa jadi sangat beda sama apa yang hati kamu rasakan. Papi tau Sonya itu mirip secara fisik sama putri-putri di dongeng yang selalu kamu idam-idamkan, karena itu mungkin kamu salah paham mengira rasa kagum sebagai rasa cinta. Kagum itu sifatnya dimata, karena visualisai. Sedangkan cinta itu sifatnya dihati, isi hati kamu biarpun berusaha ngebohongin diri sendiri pada akhirnya pasti akan kalah juga karena alam bawah sadar kamu yang menggerakan. Dia tau kemana hati kamu berlabuh." Papi tiba-tiba menghentikan kekehannya, wajah beliau nampak lebih serius dan wejangan yang keluar dari mulut Papi cukup bisa gue cerna dengan baik.

"Papi sama bunda awalnya kemaren juga nggak ada rencana buat jodohin kalian, kami pikir Khayla sudah seperti anak sendiri, mungkin dia sudah kayak saudara buat kamu. Tapi kami masih ingat gimana perlakuan kamu ke Khayla, bukan kayak perlakuan saudara, kamu memperlakukan Khayla sebagai seorang perempuan. Dan sampailah ketika Khayla minta izin sama papi dan ibun buat lanjutin pendidikan nya ke Bandung, kami sebenarnya masih khawatir kalau Khayla sendirian disana. Maka dari itu papi dan bunda mutusin buat minta kamu dan Khayla tunangan, setidaknya mana tau kamu bersedia buat ikut Khayla ke Bandung. Kalian bisa berdua disana dan kami nggak khawatir lagi." Lanjut Papi menjelaskan dengan begitu rinci, kedua orang tua gue ternyata sudah mempersiapkan yang terbaik buat gue dan juga Khayla. Sayangnya semua runyam karena gue bebal.

Our September Moments (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang