40. Khayla (Aku)

320 31 14
                                    





"Seneng nggak abis main sama kucing?"

Pertanyaan dari Kafka membuatku menghentikan gerakan tangan ku yang tengah berusaha memasang seatbelt, kami tengah berada didalam mobil, masih di basement parkiran cat café yang baru saja kami kunjungi, mobil masih belum bergerak. Aku dan Kafka menghabiskan waktu kurang lebih dua jam di café tersebut. Jika saja sang surya tak menenggelamkan diri mungkin aku akan menghabiskan waktu lebih lama, bermain dengan banyak kucing rasanya seperti salah satu obat dan penghibur ampuh untuk ku. Aku tidak menyangka Kafka bisa menemukan tempat ini.

"Seneng banget, makasih banyak ya Kaf udah ngajakin aku kesini," senyum ku merekah kala memberi jawaban pada Kafka karena memang perasaan bahagia lah yang memenuhi hatiku.

Kafka membalas dengan memberikan senyuman yang nampak begitu manis, bibir tipisnya melengkung layaknya bulan sabit. Sorot matanya yang tak lepas memandangi ku menyisipkan rasa damai yang sulit ku jelaskan. Aku masih sangat mencintai laki-laki ini meskipun aku belum memberikan kepastian akan hubungan kami, Kafka belum tahu dengan pasti apa yang kurasakan terhadapnya.

Sorot mata teduhnya perlahan terasa mendekat diiringi dengan tubuh Kafka yang semakin beringsut kearahku, sebuah kecupan singkat namun cukup dalam menghampiri permukaan bibirku. Kafka mengecupi ku beberapa kali, seperti biasa, seperti yang sering ia lakukan.

Satu minggu ini Kafka tak pernah lagi meminta izin ketika ia ingin menciumku, ia akan melakukannya sesuka hatinya karena akupun tak pernah menolak ciumannya.

Kafka akan selalu tersenyum ketika ia mengecupiku, saat ini bahkan ujung hidungku juga menjadi sasarannya. Bibirnya tak henti menciumi hampir seluruh permukaan wajahku diiringi dengan senyuman yang terus terukir sepanjang ia menjelajahi bagian favoritnya dari diriku seperti yang selalu ia katakan.

"Kangen banget, kamu...eh lo anu---" Kafka menyela namun wajahnya masih tetap berada persis didepan wajahku.

"Kamu kenapa? Mau ngomong apa?" Aku cukup bingung karena Kafka yang tiba-tiba tergagap.

Dia menghela nafas sebentar, wajahnya sedikit menjauh untuk memberikan jarak, sepertinya agar kami bisa berbicara lebih jelas, namun tidak dengan tubuhnya. Tubuh Kafka masih berada dalam jangkauan terdekat ku.

Mataku mengerjap menunggu jawaban darinya karena sedari tadi Kafka hanya diam tanpa menjawab, dia kembali menghela nafas dan akhirnya perlahan menjauhkan tubuhnya. Bau segar layaknya air terjun ditengah hutan yang menguar dari Kafka tertinggal dan tertangkap oleh indera penciumanku. Bau yang selalu menjadi favoritku.

"Mmm---kamu nggak-papa aku mau ngomong gini I mean..." Keraguan itu kembali nampak bahkan Kafka berujar dengan suara yang cukup kecil. Untungnya masih bisa kutangkap dengan jelas.

Aku mengerti kemana arah pembicaraanya. Perubahan cara Kafka memanggilku, itulah yang dia inginkan.

Sejujurnya ini semua cukup mendebarkan bagiku, aku terbiasa mendengar Kafka berbicara non formal padaku hampir disepanjang hidupku. Akupun sebenarnya juga tak masalah jika Kafka masih dengan gaya bicaranya seperti yang selama ini ia lakukan, nor formal. Aku tidak tahu apa yang menghinggapinya hingga dia ingin merubah gaya bicaranya terhadapku.

Surprise but not surprised, itulah yang kurasakan saat ini.

"Terserah kamu, bebas kok mau ngomong kayak gimana," sahutku santai karena aku memang tak mempermasalahkan Kafka ingin berbicara bagaimana denganku.

Genggaman hangat dan sapuan halus tiba-tiba terasa pada tangan kananku, tentu tangan Kafka lah yang tengah melakukannya.

"A—aku, aku kangen banget Khay, udah sebulan lebih tiap weekend kamu selalu nginep dirumah Mila, mana sampe tiga harian pula," wajah laki-laki dihadapanku ini sedikit cemberut ketika ia mengutarakan perkataannya, suara Kafka masih terdengar cukup kecil. Aku tahu perubahan gaya bicara ini sebenarnya masih cukup canggung baginya.

Our September Moments (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang