18. Kafka (Brother Advice)

419 37 4
                                    





Hembusan angin malam dari balkon lantai 17 apartment nya Arga terasa menyejukan, gue suka dengan rasa sepi yang sekarang tengah menghinggapi, terasa damai.

"Pizza is come!" Bang Arga berdiri dihadapan gue dengan menenteng dua box pizza sambil tersenyum cerah, juga ada minuman soda kalengan.

Dia udah balik kerja sekitar jam setengah 8 malam, udah segar dan mengganti pakaian kerja nya dengan kaos polos hitam dan celana pendek, sementara itu gue juga pinjam pakaian punya Arga karena gue datang kesini tanpa persiapaan dan seragam sekolah yang masih melekat.

Arga pinter menyulap apartement nya, mungkin karena dia arsitek juga kali ya. Balkon yang hanya seluas 4x6 dijadikan Arga seperti ala-ala rooftop coffeshop. Ada 4 buah bangku lengkap dengan satu meja, bahkan lantai nya dilapisi rumput sintetis juga terpasang beberapa lampu kecil yang menghiasi daerah pagar. Membuat balkon ini cocok dijadikan tempat bersantai.

Gue dan Arga kepisah cukup lama, hampir 10 tahun tapi selama Arga di Jerman komunikasi kita nggak pernah putus, lagipula dia satu-satunya saudara gue.

"Kecut banget itu muka Kaf! Udah gue pesenin pizza juga, masih kurang ya?" Seperti biasa, Arga yang jahil nggak pernah hilang.

Arga duduk dihadapan gue sambil tangan nya sibuk membuka box pizza.

Gue masih menumpukan kepala dimeja dengan kedua lengan gue yang jadi penopangnya, memang terlihat kurang antusias meski Arga udah nyuguhin dua box pizza jumbo dihadapan gue.

"Bang kalau misalkan selama ini lo suka pizza dan nggak pernah nyoba lasagna sekalipun, kemudian tiba-tiba secara nggak sengaja lo nyicipin lasagna. Ternyata enak, lebih enak dari pizza. Lo bakal tetap pilih pizza sebagai makanan favorit lo atau pindah haluan ke lasagna?" Tanya gue to the point pada masalah inti meskipun menggunakan kiasan.

Pertanyaan gue bikin Arga menghentikan gerakan tangan nya yang sedari dari sibuk membuka box pizza. Arga mengalihkan tatapan nya ke gue.

"Tinggal makan keduanya aja sih. Nikmatin aja dua-duanya, ngapain gue mesti repot pilih salah satu." Sahut Arga santai.

"Tapi keadaannya nggak bisa gitu bang. Gue harus kehilangan satu untuk mendapatkan satu." Gue kembali menunduk dalam, ngerasa jawaban Arga barusan nggak membantu gue sedikitpun.

"Ya tergantung konteksnya lah Kaf, kalau urusan makanan kan nggak harus milih salah satu, semuanya bisa gue nikmatin. Tapi kalo konteksnya yang lain, beda lagi jawabannya."

Gue masih diam mendengar penuturan Bang Arga.

"Lo kenapa sih Kaf?" Arga kembali membuka suara, tangannya menyodorkan satu potongan pizza ke gue. Meski gue nggak nafsu makan, tapi karena Arga udah sangat perhatian maka gue mengambil potongan itu. Mencoba meresapi rasa pizza yang memenuhi lidah gue, enak, tapi tetap lebih enak sandwich bikinan Khayla.

"Bang lo pernah ciuman nggak?" Gue menegakan badan, memandang pada tumpukan gedung-gedung di hamparan jalan Jakarta, malu kalau mesti bertapapan dengan Arga saat ngomongin hal ginian.

Sedang Arga sekarang malah sedikit terbahak, "Jangankan ciuman Kaf, yang lebih juga gue pernah mah."

Kepala gue langsung mengarah pada Arga yang duduk diseberang gue, dipisahkan oleh meja yang penuh dengan box pizza.

"Bang, gue aduin bunda lu!"

"Yeu...malah ngadu." Arga berdecak.

"Lagian elu!" Mata gue menatap tajam pada Arga .

"Kaf, gue cowok dewasa. Nanti seiring berjalannya waktu lo juga bakal paham. Ini tapi nya kenapa jadi bahas gue sih? Kan keadaan lo yang gue tanyain." Arga duduk dengan santai, kembali menyuapkan potongan pizza ke mulut nya sendiri.

Our September Moments (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang