Rintik gerimis yang mengalir, senyap bau tanah yang tercampur air, semilir udara malam yang menyapa permukaan kulit. Bagai tali layangan yang putus, terbang di langit luas bebas namun tak tentu arah, tanpa tujuan, tanpa tahu kemana nasib akan membawanya.Gemuruh hati dan pikiran yang tak tertahankan, mereka berisik, berbisik penuh adu domba mencoba menguasai diriku sepenuhnya. Meski laki-laki yang kucintai berada didepan mata, mengungkapkan kalimat damba penuh rasa cinta, tak terlewat barang sedetikpun pujian tentangku keluar dari mulut manisnya, pada akhirnya aku tetap merasa ia berada jauh diseberang sana.
Lautan yang memberi jarak, tak ada perahu apalagi kapal layar agar kami bisa bertemu disatu titik dan saling menggenggam kemudian mengarungi nahkoda bersama.
Jatuh cinta sendirian selama bertahun lamanya yang kualami begitu sulit hingga sering meninggalkan jejak tusukan jarum dengan darah yang mengering, namun ternyata ketika sang maha cinta mendapatkan perasaan berbalas, tatapan kagum yang saling terlempar tetap saja jarum itu tak pernah pergi jua.
Apapun yang terjadi pada hatiku dan juga Kafka, jalannya tetap penuh kerikil dengan labirin tak berujung. Aku kecewa padanya, berusaha acuh pada apa yang telah dikatakan oleh Gino pun tak pelak hanya membuat jantungku semakin merasa nyeri.
Sunyi, sepi, aku tidak sanggup mengeluarkan sepatah katapun walau sekedar bertanya kejelasan faktanya pada si empunya. Derit suara mobil lah yang menemani kami sepanjang jalan hingga ketika kaki ku menapak pada teras rumah pun aku masih bungkam seribu bahasa.
"Khayla..." Lirih lembut suara lelaki yang amat kukenal memasuki rungu ku, namun aku masih menghindar.
"Khay kamu kenapa? Tiba-tiba diemin aku." Tubuh jangkungnya menghalangiku, berdiri menjulang hingga langkahku terhenti.
"Kalau ada sesuatu bilang, apapun itu semuanya lebih baik dikomunikasiin Khay daripada cuma dipendam. Kamu nggak ada ngomong sepatah kata pun sama aku sejak dari supermarket." Bujukan Kafka terus mengalun ditelinga ku.
Aku berpikir sebentar, mengambil nafas kemudian menghembuskannya untuk menenangkan diri sendiri. Benar apa yang dikatakan Kafka, bukankah aku memiliki hak untuk mengetahui semua yang terjadi meski segalanya hanyalah bagian dari masalalu yang tak mungkin bisa diperbaiki.
"Kamu pernah punya urusan apa dulu sama Gino?" Aku tidak ingin berbasa-basi, tidak ingin memakan waktu terlalu lama.
Lagipula Bunda Jasmine dan Papi Ivan masih belum pulang, saat ini hanya ada aku dan Kafka dirumah. Mungkin saja ketika pembicaraan ini berakhir dengan pertengkaran atau apapun yang akan terjadi nanti maka hanya kami berdua yang tahu.
Atmosfir teras rumah tiba-tiba serasa mencekam, barang belanjaan masih tertinggal dibagasi mobil. Netra ku menangkap kedua pundak Kafka yang bergetar, aku tidak tahu apa yang tengah ia rasakan namun sorot matanya menunjukan ketakutan.
"Kita masuk dulu Khay, nggak enak ngomong di teras gini. Nggak enak kalo ada orang yang liat."
Kupandangi sekitar, hari sudah cukup larut, jarak antara teras rumah dan gerbang depan sebenarnya juga cukup jauh. Tapi baiklah, dingin udara malam yang cukup menusuk ku membuat kaki ku melangkah masuk terlebih dahulu. Sekelebat saat kaki ku terayun memasuki ruang tengah aku sempat kembali terpikir untuk mendiamkan Kafka, tak ingin mendengar penjelasannya.
Namun sepertinya Kafka menyadari niatku karena sekarang tangan kanan ku dicekal olehnya, tak terlalu erat hanya saja tubuh besarnya yang kembali mencegat langkah kaki ku membuatku tak bisa berkutik.
"Aku jelasin semuanya." Ujarnya mencoba meyakinkanku.
Aku bergeming, enggan menatap pada matanya membuatku menundukan wajah, "Gino ada cerita apa aja sama kamu?" Kafka bertanya ulang sebelum ia memberi penjelasan yang ku inginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our September Moments (Complete)
RomanceKafka Auriga si bungsu yang kesepian lantaran jarak usia dengan saudaranya terpaut cukup jauh sehingga ia tak punya teman main dirumah, sampai dimana sang bunda memperkenalkan seorang anak gadis yang seumuran dengan dirinya. Tadinya Kafka pikir gadi...