45. Kafka ( 1:1 )

484 37 9
                                    


TW/PTSD ‼️



Hening.

Hanya ada suara dentang jarum jam yang terus bergulir detik demi detik dan sedikit suara isak tangis Khayla yang perlahan mereda setelah puluhan kali gue berusaha semampu mungkin buat nenangin dia.

Kami duduk bersisian, namun dengan jarak yang berjauhan, sibuk dengan isi kepala masing-masing. Isi otak gue penuh dengan teka-teki yang selama ini buntu namun mendapatkan jalan keluarnya malam ini secara nggak sengaja.

Tadinya gue pikir karena gue dan Khayla tumbuh bersama dari kami masih di usia kanak-kanak hingga menuju dewasa, satu atap selama belasan tahun, mengetahui bagaimana proses pendewasaan diri satu sama lain, tapi ternyata masih banyak topeng berlapis yang tersembunyi.

Ketika gue sadar rasa cinta tumbuh dihati gue buat Khayla, berkembang semakin besar setiap harinya, gue kira semua nggak akan serumit ini. Gue pikir semua ini hanyalah tentang waktu dimana gue harus sabar buat meluluhkan hati Khayla.

Kenyataan yang terjadi ternyata nggak semudah itu.

Rasa kecewa terhadap diri sendiri, perasaan bersalah yang terus menghantui, merutuki kebodohan di masalalu yang nggak bisa diulang barang sedetikpun untuk diperbaiki, semua nggak ada henti memenuhi ruang pikiran gue.

Gue menoleh pada Khayla yang berada diujung sofa bagian kiri, kedua tangannya memeluk dirinya sendiri dengan isak kecil yang sepertinya sulit berhenti.

Memandang lekat perempuan yang sekarang jadi bagian paling berharga di hidup gue setelah Bunda, kedua bola matanya dipenuhi tangis dan semua kesedihan Khayla ada campur tangan gue disana meskipun secara nggak sengaja.

"Kamu mungkin nggak tau bahwa rasa bersalah aku ke kamu selalu ngebayangin aku setiap saat Khay, aku marah sama diri sendiri, aku malu karena setelah semua yang aku perbuat tapi kamu masih disini. Kamu masih bersedia buat maafin semua yang pernah aku lakuin sama kamu dimasalalu, bahkan setelah kamu tau kalau aku pernah ngerecokin kehidupan masa SMP dan SMA kamu, sedangkan aku yang nggak pernah sadar sama perasaan sendiri padahal udah sampai berani tonjok-tonjokan sama Noah, kurang cinta apa lagi aku sama kamu sampai relain tubuh aku babak belur....emang aku nya aja sih yang bego."

Gue masih menatap Khayla dengan lekat meski nggak ada satupun sahutan dari dia.

"Aku sebenernya ngerasa nggak pantes buat kamu Khay, aku kayak jadi manusia paling jahat di dunia. Tapi aku juga nggak bisa kehilangan kamu, aku nggak mau berhenti buat perjuangin perasaan aku ke kamu." Gue terus melanjutkan dan mengutarakan beberapa kalimat untuk meyakinkan Khayla bahwa gue akan selalu menerima keadaan dia apapun yang terjadi.

"Kaf, aku maafin kamu karena aku manfaatin kamu. Aku yang jahat disini." Pedih suara Khayla yang menyela merasuk ke dalam indera pendengar gue.

"Dan kamu terpaksa manfaatin aku akibat perlakuan aku juga ke kamu Khay, karena kebodohan aku semua ini terjadi."

"Tetap aja aku nggak tulus ke kamu Kaf," Khayla kembali menyela dan gue berpikir sejenak.

"Yaudah kalau gitu skor kita sama, nggak ada yang baik, nggak ada juga yang jahat. Aku nggak-papa kalau cuma sekedar kamu manfaatin Khay, sekalipun untuk seumur hidup, aku rela kamu manfaatin. Tadinya aku emang cukup optimis, ngerasa kamu juga perlahan cinta sama aku karena nggak pernah nolak kontak fisik yang aku lakuin, tapi kalau pada nyatanya itu semua cuma bagian dari usaha kamu buat nyembuhin diri kamu, aku terima. Seenggaknya aku bisa jadi obat buat kamu. Kamu bilang kalau kamu cuma nyaman ngelakuin itu semua sama aku kan Khay?"

Khayla menggangguk singkat dengan perlahan, meski tatapan nya masih nggak tentu arah sedangkan gue disini selalu terfokus sama dia. Anggukan itu ngasih jawaban kalau apapun yang terjadi senggaknya emang cuma gue yang bisa selalu ada disisi Khayla.

Our September Moments (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang