"Jelas banget kan Pak, Audri dan kawan-kawan nya dorong Khayla ke kolam renang!"Amarah gue kembali membuncah saat melihat rekaman cctv sekolah, tertangkap oleh kamera dengan jelas kalau Khayla dan Audri sempat adu mulut dan tentu saja karena kalah jumlah akhirnya Khayla nggak bisa sepenuhnya melawan, sampai dengan Audri yang mendorong Khayla ke kolam renang kemudian tertawa terbahak-bahak melihat Khayla yang hampir terenggut nyawanya.
Semua terekam dengan jelas. Audri dan geng nya emang jenis manusia sampah!
Tadi setibanya di sekolah gue langsung ke ruangan guru bimbingan konseling buat laporin Audri, kemudian gue bersama Pak Damar mencek cctv bersama yang ada di ruang kontrol. Gue nggak mau buang waktu dan bakal ngusut kasus ini secepat mungkin.
"Pihak sekolah akan segera memanggil orang tua Audri beserta Audri. Bapak jamin kami nggak akan lalai dengan kasus ini dan akan beri Audri hukuman yang sesuai." Ujar Pak Damar meyakinkan gue setelah kami berdua selesai melihat rekaman cctv.
"Korban Audri bukan cuma Khayla pak. Selama ini banyak siswi lain yang dia bully, tapi nggak pernah ada bukti karena mereka ngelakuinnya diluar lingkungan sekolah." Adu gue menggebu-gebu, gue nggak tahan banget sebenernya kalau cuma laporin Audri ke komite sekolah, kalau aja bukan karena permintaan Khayla, pasti Audri dan geng nya udah gue laporin ke polisi juga sekalian.
Pak Damar sekarang malah memijit kepalanya, "Ada-ada aja. Udah kelas 12 padahal, bentar lagi juga lulus. Anak muda jaman sekarang kenapa sih." Keluhan lirih yang keluar dari mulut Pak Damar khas orang tua yang sedang mengeluh karena kelakuan anak generasi sekarang.
"Pantas saja si Audri dan kawan-kawan nya itu katanya hari ini tadi absen. Nggak ada satupun dari mereka yang hadir ke sekolah." Lanjut Pak Damar yang menurut gue beliau ngomong sendiri karena beliau masih memijat kepala dan pandangan Pak Damar lurus ke bawah, menatap lantai. Nggak natap gue sedikitpun.
"Pak jangan sampai mereka kabur. Mereka udah niat ngilangin nyawa orang, nggak bisa dibiarin gitu aja!" Suara gue sedikit meninggi, gue bahkan hampir lupa kalau yang ada dihadapan gue saat ini adalah Pak Damar yang notabene nya ketua komite bimbingan konseling sekolah dan beliau juga orang yang lebih tua.
Emosi sempat membutakan gue dan berbicara kurang sopan sama orang yang lebih tua.
"Tenang saja Kafka, kasus ini juga mencemarkan nama baik sekolah. Kami tidak akan membiarkan Audri dan teman-teman nya lolos." Ucap Pak Damar lagi mencoba meyakinkan.
Gue mencoba untuk menenangkan diri sendiri setelah semua hal yang perlu gue sampaikan sudah selesai dan meminta izin untuk masuk ke kelas dan mengikuti pelajaran.
Gue sebenarnya masih nggak tenang, rasanya belum puas kalau hanya menunggu pihak sekolah untuk bergerak, tapi gue juga nggak tau harus ngelakuin apa untuk menuntaskan amarah gue ke Audri dan kawan-kawannya.
Gue nggak mungkin membalas dengan kekerasan karena gimanapun mereka semua perempuan, lagipula pembalasan dengan kekerasan juga sama sekali nggak bisa dibenarkan, entah mereka perempuan ataupun laki-laki.
Kaki gue melangkah perlahan menuju kelas, mengetuk pintu kelas dan terlihat Bu Nayma sedang mengajar mata pelajaran fisika. Gue sadar gue telat mengikuti pelajaran, untungnya Bu Nayma tau alasan gue terlambat masuk ke kelas hari ini dan beliau memakluminya.
Sebenernya gue bisa aja mendatangi kantor komite saat jam istirahat kelas, tapi hati gue amat sangat nggak tenang. Gue nggak bisa memulai kelas dengan benar disaat otak gue terfokus dengan rasa marah gue ke Audri. Gue nggak sanggup memulai hari ini kalau gue belum bertindak sedikitpun untuk mengusut kejadian kemarin. Karena ego gue, karena amarah gue dan karena rasa takut kehilangan Khayla, gue memutuskan untuk melihat rekaman cctv dan melaporkan Audri terlebih dahulu pagi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our September Moments (Complete)
RomanceKafka Auriga si bungsu yang kesepian lantaran jarak usia dengan saudaranya terpaut cukup jauh sehingga ia tak punya teman main dirumah, sampai dimana sang bunda memperkenalkan seorang anak gadis yang seumuran dengan dirinya. Tadinya Kafka pikir gadi...