TW / Explicit Kissing ⚠️"Bun kalau Kafka mau kuliah ke Bandung juga boleh nggak?" Tangan kanan Bunda yang sedari tadi sibuk mengoleskan nail polish pada kuku dibagian jari kiri beliau terhenti seketika saat mendengar permintaan gue.
Kami duduk diruang tengah dengan netflix yang terputar di layar televisi, hari sudah menunjukan pukul 8 malam lewat 15 menit tapi gue lagi nemenin Bunda sementara Papi sedang mandi karena baru pulang dari kantor. Sedang Khayla berada di kamarnya setelah kami selesai makan malam.
Baru dua jari kuku Bunda yang berhasil terolesi dengan nail polish berwarna merah maroon namun nampaknya apa yang barusan gue utarakan bikin Bunda terdistraksi, terbukti dengan beliau yang sekarang malah menutup botol kutek nya, terlihat berhenti untuk melanjutkan sementara waktu.
"Kamu udah tau mau ke kampus mana dan ngambil jurusan apa?" Punggung Bunda menegak ketika beliau bertanya, gue tau hal ini cukup serius untuk dibicarakan karena menyangkut masa depan gue.
"Kafka mau ambil IT, kampus nya masih riset, nyari yang cocok."
"IT?" tanya Bunda lagi untuk memastikan dan gue mengangguk tegas.
"Software, Kafka mau ngedalamin perangkat lunak bun." Keputusan ini gue pikirkan dalam jangka waktu yang cukup panjang, setelah Khayla sedikit memberikan pendapatnya dan bikin gue mengamati beberapa hal yang selama ini jadi kesenangan gue, dan pilihannya jatuh pada perangkat lunak. Gue menetapkan pilihan dengan hati-hati.
"Kamu nggak mau pisah sama Khayla?" Bunda menghembuskan nafas pendek, mata beliau menelisik mencari tau.
"Well, harus Kafka akuin iya. Kafka nggak bisa kalau pisah sama Khayla bun. Tapi semuanya udah Kafka pikirin dengan matang, nggak semata-mata cuma karena Khayla seorang." Gue berujar sambil memainkan kuku-kuku jari tangan gue, kemudian berpindah mengambil bantal sofa dan memelintir bagian ujung bantalnya. Kebiasaan buruk gue kalau lagi gugup.
Gue takut nggak dikasih izin buat kuliah ke Bandung.
"Ibun sih udah tau ya isi pikiran kamu. Kalau bisa pasti kamu mau satu kampus sama Khayla atau tinggal di tower apartment yang sama kayak Khayla. Iya kan?"
Pernyataan Bunda bikin gue rasanya kayak ditelanjangi habis-habisan. Gue nyengir, menggaruk belakang telinga gue yang sebenernya nggak gatal sedikitpun.
"Nak, kamu boleh jatuh cinta. Tapi pikirkan masa depan kamu dengan sungguh-sungguh. Lagipula kalau kamu benar-benar cinta sama Khayla artinya masa depan kamu juga bagian dari masa depan dia dan kamu jangan sampai salah langkah." Bunda menasehati, gue tau beliau pasti mengira gue mengorbankan pendidikan gue hanya karena gue nggak mau pisah sama Khayla yang bikin gue memaksakan agar bisa melanjutkan pendidikan di kota yang sama dengan keberadaan Khayla.
"Bun, Kafka suka nge-game, terkadang dari kecil seringkali pikiran Kafka ngayal mau bikin game sendiri atau mau bikin program ini itu sesuai dengan keinginan Kafka. Dan sekarang Kafka sadar kalau itu semua bukan sekedar impian masa kecil, game-game tersebut nggak bakal bisa tercipta kalau Kafka nggak belajar."
That's it, gue selama ini sadar minat gue kemana. Game bukan cuma sekedar hobi buat gue, terkadang ada hal lain disana yang bikin gue ngerasa hidup. Selama ini gue bukan yang fanatik keras terhadap game, gue bisa mengontrol jangka pemakaiannya tapi kayak yang gue bilang ada sesuatu yang selalu bikin gue bersemangat setiap kali menatap layar ketika memainkan sesuatu. Bukankah hal kecil bagi orang lain, bisa jadi adalah hal besar bagi seseorang?
"Khayla udah setuju kamu mau ke Bandung juga?" Nampaknya Bunda sudah lebih santai, karena selepas bertanya punggung beliau mengendur dan Bunda kembali membuka tutup botol kutek, berniat melanjutkan untuk menghias kuku beliau yang tadinya tertunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our September Moments (Complete)
RomanceKafka Auriga si bungsu yang kesepian lantaran jarak usia dengan saudaranya terpaut cukup jauh sehingga ia tak punya teman main dirumah, sampai dimana sang bunda memperkenalkan seorang anak gadis yang seumuran dengan dirinya. Tadinya Kafka pikir gadi...