Bau segar buah-buahan dapat terhidu, sayur-mayur dengan bermacam warna, berbagai makanan kaleng dan bumbu-bumbu serta berbagai macam ikan ataupun daging memenuhi setiap sudut mataku. Ini pertama kalinya aku pergi berbelanja kebutuhan dapur hanya berdua dengan Kafka, biasanya kami akan pergi bersama Bunda Jasmine.Supermarket ini cukup besar hingga aku dan Kafka memutuskan untuk mencari bahan keperluan dengan terpisah agar waktu lebih efisien apalagi hari juga semakin larut, syukurnya aku tak merasa kelelalahan meskipun hari ini beraktifitas tanpa henti.
Kafka pergi kebagian daging sedang aku tengah mencari bumbu, mataku menelisik mencari bumbu apa saja yang diperlukan sesuai dengan daftar belanja yang diberikan oleh Bunda.
"Khayla? Iya kan bener Khayla Savira?" Sebuah suara yang terasa cukup asing memekakan telingaku, membuat arah pandangku teralih, kudapati sesosok laki-laki jangkung berdiri disampingku. Terlihat seumuran denganku, wajahnya samar-samar membayang dipikiranku, rambutnya berwarna coklat kemerahan. Aku seperti mengenalnya, namun ingatanku kurang bagus untuk bisa mengetahui sepenuhnya siapa laki-laki yang mengetahui nama lengkap ku yang mana artinya ia mengenalku.
Keningku mengernyit singkat, mataku mengerjap beberapa kali. Laki-laki ini nampak memahami raut kebingunganku.
"Gino Isaak Xander, inget gue nggak?" Tangannya terulur nampak ingin bersalaman, memori dalam otak ku seketika gencar mencari data tentang seorang lelaki bernama Gino Isaak Xander.
Aku memutuskan menerima uluran tangannya terlebih dahulu sambil terus berpikir keras mengais ingatanku akan sosok laki-laki yang berdiri dihadapan ku saat ini.
Dengan mencoba memberanikan diri aku menatap kearah bola matanya, mata ini aku mengenalinya. Kedua bola mata yang berwarna coklat terang, laki-laki ini memang terlihat seperti memiliki darah eropa, wajahnya memiliki khas percampuran hasil pernikahan beberapa ras.
Mesin dalam otak ku akhirnya menemukan data yang kuperlukan setelah aku memperhatikan wajahnya dengan seksama, Gino Isaak Xander adalah teman SMP ku, sebenarnya ia adalah kakak kelas namun dulu kami terlibat dalam satu organisasi yang sama yakni kelompok kesenian, sekolah ku dulu memang memberikan fasilitas bagi yang berminat akan seni, mulai dari seni rupa, seni musik, seni tari dan berbagai macam.
"Gino, kakak kelas aku di SMP kan?" Ucapku memastikan, semoga data yang ditemukan otak ku benar adanya, akan sangat memalukan jika aku salah menebak orang.
"Kirain udah lupa, syukur deh masih inget," laki-laki dihadapanku menjawab dengan sumringah. Aku tak salah mengenali orang, dia memang Gino yang kukenal.
"Udah lama banget kita nggak ketemu ya," sambungnya lagi, aku terkekeh kecil. Agenda belanja ku agaknya sedikit tertunda karena kehadiran Gino tapi aku tidak mungkin mengacuhkannya, ini pertemuan teman lama yang cukup layak untuk mendapatkan intensitas berbicara.
"Katanya kamu lanjutin pendidikan ke luar negeri kan?" Aku menebak berdasarkan kabar burung yang beredar.
"Iya, gue lanjutin ke Belanda karena kebetulan daddy gue juga balik kesana, biasa urusan kerjaan." Ah benar, ada darah Belanda yang mengalir pada diri Gino, itu sebabnya dia memiliki perawakan tinggi dengan kulit putih pucat disertai beberapa freckles menghiasi pipi nya, juga bola mata cerah berwarna coklat terang serta warna rambut yang agak kemerahan.
"Lo masih ngelukis Khay?" Gino kembali memberikan pertanyaan selayaknya teman lama yang ingin mengetahui kabar masing-masing.
Kami akhirnya memutuskan untuk lanjut mengobrol sambil berjalan dan meneruskan belanjaan agar tak membuang waktu.
"Masih banget, karya aku udah banyak yang beli loh. Beberapa kali masuk ke galeri juga." Tanpa bisa dicegah aku memberi sahutan sambil tersenyum, aku memang selalu bahagia kala membahas tentang lukisan atau hal apapun yang aku gemari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our September Moments (Complete)
RomanceKafka Auriga si bungsu yang kesepian lantaran jarak usia dengan saudaranya terpaut cukup jauh sehingga ia tak punya teman main dirumah, sampai dimana sang bunda memperkenalkan seorang anak gadis yang seumuran dengan dirinya. Tadinya Kafka pikir gadi...