8

1K 109 13
                                    






"Apa masih belum ada tanda-tanda?"

"Tanda-tanda apa, Bu?"

Terdengar hening sejenak yang membuat Keith sampai melirik ponselnya di meja untuk mengecek apakah panggilan teleponnya dengan ibu mertua masih tersambung.

"Kehamilanmu."

Gerakan tangan Keith yang sedang memotong asparagus langsung terhenti. Pria manis itu tanpa sadar termenung beberapa saat sampai panggilan dari Evelyn di seberang telepon berhasil mengembalikan kesadarannya.

"Keith, apa kau mendengar suara ibu?"

Keith mencengkeram gagang pisau dengan erat sebelum kembali membuka suara.

"Ya, aku mendengar." Keith berusaha menekan nada suaranya agar terdengar biasa saja.

Tak berselang lama, Keith mendengar ibu mertuanya bicara dengan seseorang sebelum akhirnya sambungan telepon mereka berakhir. Sebelum mengakhiri panggilan, Evelyn berkata bahwa sedang ada tamu yang datang berkunjung ke mansion.

Setelahnya, Keith memasukkan ponsel ke kantung celana dengan pikiran yang mulai berkelana ke mana-mana. Pertanyaan dari ibu mertuanya tadi berhasil membuat rasa cemas dan takut kembali datang. Keith tidak percaya bahwa dalam kurun waktu kurang dari 24 jam, ia akan mendapatkan pertanyaan yang sama tetapi dari dua orang yang berbeda. Karena semalam sebelum tidur, Seth juga sempat menyinggung topik ini. Malam itu, Keith tidak terlalu menanggapi dengan alasan dirinya sudah sangat mengantuk, padahal tidak. Bahkan Keith baru bisa memejamkan mata di jam setengah lima pagi karena terlalu banyak berpikir yang sukses membuatnya insomnia.

Dan baru saja, Keith mendapatkan pertanyaan yang sama dari Evelyn, ibu mertuanya. Hal itu membuat kepalanya semakin sakit. Keith lalu merapikan kekacauan di kitchen set sebelum kembali ke kamar. Niatnya yang ingin membuat asparagus and zucchini frittata sebagai menu makan siang seketika lenyap bersamaan dengan rasa laparnya yang ikut hilang tak berbekas.

Ngomong-ngomong, ini sudah beberapa bulan setelah pertengkaran terakhir mereka di meja makan. Setelah itu, Keith sengaja mendiamkan suaminya hampir satu minggu. Tak ayal, Seth sontak kelimpungan. Meski Keith masih melayaninya seperti biasa namun rasanya sangat berbeda. Setelah berpikir berulang kali, Seth mengajak istrinya untuk staycation di salah satu hotel sebagai permintaan maaf. Mereka menginap selama kurang lebih tiga hari dan ketika pulang ke rumah, hubungan keduanya sudah membaik seperti semula.

Selain itu, Arthur juga sudah berkuliah. Lelaki yang sebentar lagi berusia sembilan belas tahun itu mulai disibukkan dengan tugas dan kegiatan-kegiatan mahasiswa baru. Bahkan sudah dua malam Arthur menginap di apartment milik salah satu teman kampusnya karena lebih dekat dari universitas.

Keith tentu menyambut baik kepergian Arthur. Bahkan dia berdoa agar Arthur tidak kembali lagi ke rumahnya. Selama dua hari ini, Keith merasa sangat bebas dan bahagia, sebelum ia mendapat pembahasan tentang keturunan.

"Astaga kepalaku sakit sekali." Keith mengeluh seraya membuka salah satu laci kamar yang berisi obat-obatan. Ia langsung menenggak dua butir obat pereda nyeri tanpa bantuan air. Setelahnya, dia membuka pintu balkon dan duduk di salah satu kursi untuk merenung.

Benar saja, baru beberapa detik duduk, pikiran-pikiran buruk mulai berlalu-lalang di benaknya. Pertanyaan apa, kenapa, dan bagaimana terus berdatangan memenuhi otaknya. Perasaan cemas kembali muncul ketika ia membayangkan reaksi dari orang-orang terdekatnya. Juga, apa Seth akan menceraikannya ketika tahu fakta ini?

Keith sontak menggeleng histeris. Tidak. Seth tidak boleh menceraikannya. Keith tampaknya mulai termakan dengan asumsi negatif yang sebenarnya ia ciptakan sendiri. "Aku akan menyembunyikannya ...." Keith bermonolog dengan tatapan kosong. "Ya, memang seharusnya seperti itu."

DANGEROUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang