13

1.2K 105 13
                                    




Malam harinya, Keith turun ke dapur untuk membuat makan malam. Di tengah kesibukannya, pria manis itu sesekali celingukan dan diam-diam menghela napas lega ketika tidak mendapati keberadaan Arthur. Setelah insiden siang tadi, Keith benar-benar menjaga jarak dari adik iparnya itu. Ucapan demi ucapan yang dilayangkan Arthur masih membekas di ingatannya yang berhasil membuatnya takut jika Seth tahu tentang rahasianya. Keith semakin yakin bahwa suaminya itu pasti akan menceraikannya ketika tahu bahwa ia tidak bisa memberikan keturunan di rumah tangga mereka.

"Memikirkan sesuatu?" Sebuah tangan tiba-tiba melingkari pinggang Keith dan disusul dagu seseorang bertumpu di pundak pria manis itu.

Keith yang sempat melamun seketika tersentak. Ia bahkan tidak berani menoleh ataupun bergerak se-inci pun. Pria manis itu tetap berdiri tegak layaknya sebuah patung.

Arthur terkekeh tanpa suara lalu mulai menelusupkan wajah ke leher Keith. Bibirnya mengecupi kulit halus itu dan sengaja tidak meninggalkan tanda di sana. Secara perlahan, tangan lelaki delapan belas tahun itu mulai turun dan membelai perut bagian bawah Keith yang sukses membuat pria dipelukannya memberikan respons penolakan.

Keith mulai bergerak untuk melepaskan diri tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Namun, bukannya melepaskan, Arthur malah semakin mempererat pelukannya hingga membuat Keith meringis kecil tanpa sadar.

"Slow, Baby ...." Arthur berbisik dengan suara sangat rendah ketika merasa Keith mulai memberikan perlawanan. "Kau tahu bukan bahwa aku tidak akan melepaskanmu." Arthur menambahkan. "Ayolah, apa yang kau takutkan? Hamil? Kau lupa jika dirimu tidak bisa mengandung?" Arthur seolah sengaja mengungkit fakta itu yang membuat pergerakan Keith mulai berkurang. "Turuti aku jika kau ingin rumah tanggamu tidak hancur!" Tangan Arthur terulur untuk mematikan oven lalu ia membalik tubuh Keith dan keduanya kini berdiri berhadapan. Tanpa menunggu lagi, Arthur lantas mencium bibir Keith dengan cukup buas. Tak sampai di sana, salah satu tangan Arthur membelai pipi pria lebih tua lalu turun ke leher dan terhenti di pinggul Keith.

Keith tentu tidak tinggal diam. Ia kembali memberikan perlawanan namun tetap saja tenaga Arthur jauh di atasnya.

"Buka mulutmu, Pria Infertile!" Arthur sedikit mencekik leher Keith setelah melepas ciumannya. Tampaknya, dia mulai emosi saat Keith terus melawan.

"J-jangan panggil aku dengan sebutan itu!" ucap Keith dengan susah payah. Meski sebesar apapun ia melawan, ucapan itu masih sangat berhasil untuk melukai hatinya.

"Why?" Arthur tiba-tiba terkekeh seraya kembali mengusap pipi Keith. "Aku hanya berbicara fakta. Fakta bahwa kau adalah pria mandul."

Keith sontak menepis tangan Arthur seraya memalingkan wajah.

Arthur lantas menelusupkan wajahnya di potongan leher Keith dan kembali mencumbu area itu. Keith hanya diam dengan kedua tangan mengepal kuat. Hingga, Arthur menjauhkan wajah seraya berdecak pelan ketika ponsel di saku celananya berbunyi.

Ketika melihat nama penelepon, Arthur tersenyum kecil dan berbalik pergi begitu saja sambil mengangkat panggilan itu. Arthur berjalan dengan santai seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

Sepeninggal Arthur, tubuh Keith langsung luruh ke lantai. Dia terduduk seraya bersandar di kitchen set. Tubuhnya bergetar pelan ketika sadar akan fakta bahwa ada orang lain yang 'menyentuhnya' selain Seth, suaminya sendiri.


****

"Aku tidak berniat untuk begadang, Schatzi. Aku sedang mengerjakan tugas individu."

Arthur tertawa tanpa suara. Dia yakin pasti kekasihnya itu tengah mencebikkan bibir sekarang.

"Ah, ya, bagaimana kuliahmu? Bagaimana rasanya tinggal di Boston?"

DANGEROUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang