---
Lima tahun telah berlalu sejak aku dan Rachel mengucapkan janji suci, menyatukan hati dalam ikatan pernikahan. Kami berdua memutuskan kembali ke Amerika, mencari kedamaian di tengah deburan ombak pantai yang menenangkan jiwa.
"Rachel, apakah kau ingin punya bayi?" tanyaku, suaraku bergetar, berusaha menyampaikan kerinduan yang selama ini terpendam dalam hati. Gadis yang dulu selalu tampak dingin dan memikat itu menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Kenapa, sayang? Ada apa tiba-tiba bertanya tentang itu?" Rachel berhenti sejenak dari pekerjaannya—membuat kandang ayam, sebuah kegiatan yang kini kami lakukan bersama di rumah baru ini.
Dia memelukku, tubuhnya hangat dan penuh ketenangan. "Haa, aku tahu akhir-akhir ini ada yang mengusikmu," bisiknya, suaranya lembut, seperti alunan melodi yang menenangkan jiwa yang gelisah.
"Apa maksudmu?" tanyaku, mencoba mengungkapkan rasa penasaran.
"Kamu selalu diganggu DM dari orang-orang tak dikenal yang menyebalkan, bukan?" Rachel tahu semua yang terjadi padaku. Ia selalu menjadi tempat berbagi, pelipur lara bagi jiwaku yang terluka.
Sore itu, kami berdua memutuskan untuk berjalan ke pantai. Mentari yang mulai meredup menyapa kami dengan kehangatan, mewarnai langit dengan rona jingga yang memikat, membawa kedamaian dalam setiap hembusan anginnya.
Di tengah deburan ombak yang santai, Rachel mencium keningku dengan penuh kasih sayang. "Nanda," ucapnya dengan suara lembut, "mungkin kamu merasa ingin punya bayi, tapi aku tidak bisa memberimu itu. Kita tercipta dengan gender yang sama." Suaranya sedikit bergetar, mengandung rasa sedih yang tak bisa ia sembunyikan.
"Tapi aku bisa membelikan sebanyak mungkin anak yang kamu inginkan, bahkan panti asuhannya sekalian!" jawabku, mencoba mengubah suasana dengan candaan yang aku harap bisa mengurangi beban di hatinya.
Rachel hanya tersenyum tipis. Dia tahu aku hanya bercanda, tapi aku bisa merasakan kesedihan yang masih membayanginya.
"Ti-tidak, Rachel! Aku tidak ingin punya bayi," ujarku, mencoba menjelaskan maksud hatiku. "Tapi akhir-akhir ini, aku merasa kamu terlalu sibuk dengan pekerjaanmu. Aku khawatir, jika kita punya anak, apakah kita akan fokus pada bayi kita? Aku hanya takut kita melupakan waktu berharga bersama."
"Hmm, kamu cantik," Rachel tersenyum hangat, senyumnya tulus dan menenangkan. Seperti biasa, dia selalu berhasil membuatku merasa lebih baik, bahkan di saat-saat terburuk.
Dengan segala kelakuannya yang manis, dengan kata-kata indah yang selalu terucap, serta upayanya untuk membuatku bahagia, siapa yang tidak jatuh hati padanya? Siapa yang tidak ingin menghabiskan sisa hidup dengan wanita seperti Rachel?
Aku menatapnya dalam-dalam, merasa seakan-akan tak ada waktu yang cukup bagi kami berdua. Bahkan setelah sepuluh tahun, atau bertahun-tahun yang akan datang, aku merasa tak ada detik pun yang cukup untuk menghabiskan waktu bersama. Aku berharap, di kehidupan selanjutnya, kamu tetap memilihku, menjadi pengantinku lagi.
"Betulan! Gimana kalau aku jadi kutu air?" tanyaku, berusaha membuatnya tertawa.
Rachel mengerutkan kening, sedikit terkejut dengan pertanyaanku yang tiba-tiba. "Kenapa jadi kutu air, Nanda?" tanyanya bingung, meski senyum kecil sudah terlihat di bibirnya.
"Kalau nggak boleh jadi kutu air, biarkan aku menjadi kutu cintamu selamanya," jawabku dengan romantis, meski aku tahu lelucon itu agak garing.
"HAHHHAAA!" Rachel tertawa terbahak, meski leluconku tidak terlalu lucu. Namun, aku tetap merasa bahagia melihat senyum itu, senyum yang selalu berhasil menghangatkan hatiku.
"Hey, Nanda, ayo kesini!" Setelah tertawa bersama, Rachel berlari mengejar tukang es krim.
Kami berdua membeli es krim rasa strawberry dan berniat kembali ke tenda. Namun, tiba-tiba ada anak kecil yang sedang bermain bola voli menabrak Rachel tepat di bekas operasi luka tembaknya yang telah lama sembuh, namun masih sangat sensitif.
"Aghhh!" Rachel menjerit, suaranya tertahan, dan aku bisa melihat ekspresi kesakitan yang amat dalam. Luka yang hampir meregang nyawanya itu tetap terasa tajam, meski bertahun-tahun sudah berlalu.
"Rachel!" aku terkejut, segera mendekatinya dan memeluknya dengan hati cemas. Meski luka itu tak lagi mengancam nyawa, rasa sakitnya seolah selalu ada, mengintai kapan saja.
"I'm sorry!" anak itu berlari pergi meskipun sudah meminta maaf. Aku ingin sekali meluapkan kekesalanku, ingin menghukum bocah itu, tapi aku tahu itu bukan solusi.
"Nan… ayo kita pulang saja," Rachel berkata dengan suara gemetar, masih menahan rasa sakit. Aku yang mengemudi mobilnya, berusaha tetap tenang, meski hatiku tak bisa berhenti cemas.
Sesampainya di rumah, aku dengan hati-hati mengompres luka Rachel. Jahitannya kecil, namun luka itu dalam dan sangat sensitif.
"Nanda, jangan terlalu sedih. Wajahmu jadi mirip capung," Rachel berusaha membuatku tertawa, mencoba mengurangi kesedihanku dengan candaan ringan.
"Jangan bercanda, Chel. Ini lebam betulan!" jawabku, meski kesal, namun aku tahu Rachel hanya ingin menghiburku.
"Hmm, maaf," jawabnya dengan tulus, menyentuh hatiku yang sedang cemas.
Aku berharap tidak ada lagi yang salah hari ini. Aku berharap hanya kebahagiaan yang mengisi hari-hari kami selanjutnya.
"Nanda, sebisa mungkin aku akan tetap menjadi kekasihmu sampai nafas terakhirku," ucap Rachel, dengan suara yang penuh keyakinan dan cinta.
"Rachel, aku tak bisa membayangkan dunia ini tanpamu. Mari kita nikmati sisa waktu yang terasa begitu singkat ini, bersama," jawabku, mengungkapkan perasaan tulus yang sudah lama terpendam dalam hati.
Kehidupan manusia memang singkat, dan aku tak ingin menyia-nyiakan setiap detiknya. Bukankah sangat sia-sia jika kita tidak menghabiskan waktu dengan orang yang kita cintai?
"Aku cinta kamu, Ananda. Pokoknya, sampai kapan pun, aku nggak mau kalau nggak sama Nanda!" Rachel mengucapkan kata-kata cinta dengan tulus, hatinya berbicara tanpa ragu.
Saking gemasnya, baju Rachel sudah kulucuti. Tapi, itu cerita lain. Untuk sekarang, aku hanya ingin menikmati setiap detik bersamanya.
"Aku juga cinta kamu, Rachel… ngh…" jawabku, hampir terbata-bata, terhanyut dalam kebahagiaan yang luar biasa.
---
![](https://img.wattpad.com/cover/346207424-288-k944334.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
YOURE IN MY AREA (GXG)(END)
Teen FictionGXG AREA!!!!🔞 Ananda Marissa memutuskan untuk fokus pada pendidikannya. Ia tak percaya akan cinta yang membuat orang menjadi sangat tidak logis. Nanda terkenal sebagai orang yang cuek dan dingin. Suatu ketika, ia bertemu Rachel murid baru yang san...